Home | Registration | Login | RSSSenin, 25/11/2024, 13:04

Teguh Hardi Murtad Fotografi

Menu Saji
Kemurtadan
Waton Njeplak [44]
Nyelathu Umuk Goblog Keblinger
Sajak Njeplak [17]
Login form
Main » Waton Njeplak
Damaiku adalah sebelah-menyebelahnya Islam, Nasrani duduk bersila diselingi pewaris Kejawen yang tenang di riuh Zikir Manakib bergema.

Rumahku tidak besar dan lengang tak berperabot macam rupa. Ruang tamunya cuma ada kursi lemari yang bila digeser kepinggir, 20 orang dapat duduk mengitar di lantai. Menjadi masuk akal jika ritual mingguan Yasinan, Tahlilan bahkan selametan tak membikin pusing jika harus digelar di situ.

Dan seperti di satu malam, tepat sehari setelah Ritz-Carlton dan JW Marriot menjadi teras berita di media-media, puluhan tetangga duduk bersila dan bercengkrama dalam sebuah selametan. Sebuah kerumunan lengkap dengan kepulan asap tembakau, pekat sesak bau menyan, dan kostum-kostum khas ndeso.

Di antara banyak yang berpeci dan bersarung layaknya pengikut NU yang taat, tak sedikit yang berbaju berbeda. Meski pakaian bukan simbol keyakinan, aku sudah hafal mana yang mbah-mbah sebelah rumah perapal primbon kejawen, mana tetanggaku yang Nasrani, dan mana-mana pula tetanggaku yang tidak jelas Tuhannya. Mereka datang sebagai saudara untuk mendoakan Bapak yang baru saja pulang sehabis disayat-sayat oleh dokter bedah.

Sudah menjadi adat bahwa ritual bukan halangan untuk tetap rukun dengan tetangga sekitar. Tetangga Nasraniku pun tak protes dan ngedumel di belakang karena diundang untuk mendengarkan Manakib Syekh Abdul Qodir Jaelani dibacakan.

Pak kyai yang ditunggu pun akhirnya muncul buat mengomando selametan. Dia adalah guru waktu aku kecil belajar membaca Arab gundul dan fasih bertutur bahasa negeri onta meski belum pernah kesana. Aku menyebutnya Pak Zen, panggilan takzim dari Zaini. Walau cuma tiap lebaran ketemu dan aku sudah lupa hibah ilmunya, dia tetap sumringah bertanya tentang kabar bekas muridnya. Setelah dipersilahkan memulai, Pak Zen pun uluk salam dan memberikan ujaran tentang maksud selametan.

Inti hajatan diisi dengan bacaanTahlil disambung zikir manakib warisan sufi dari Jailan. Sebuah zikir yang ditulis secara turun-temurun oleh para pengikut tarekat Qodiriyah. Sempat terdengar Pak Zen mengingatkan untuk khusyuk dan tenang. Zikir ini katanya adalah suci, bagi yang memegang kitabnya disyaratkan berwudhu terlebih dahulu.

Bagi tetangga berpeci tentu tak menjadi masalah mengikuti kidung-kidung arab yang dipapah Pak Zen. Sebaliknya, bagi mbah-mbah kejawen dan gembala-gembala Yesus tetanggaku, pastinya kelu jika harus memaksa ikut bersuara. Tapi semangat toleransi dan kerukunan bertetangga dari penjuru kampungku itu ternyata mampu menutup celah untuk menggerutu. Sebuah kearifan lokal dari penduduk yang tak pernah berkenalan dengan Rene Guenon, apalagi Frithjof Schuon yang mumpuni berfilosofi perbedaan agama.

Dua jam selametan berjalan, damai sebelum dan sesudahnya tak sedikitpun berubah. Tetangga-tetangga tetap berpamitan dengan senyum meninggalkan doa buat Bapak. Doa dari beragam keyakinan, ikhlas terbebas dari peng-kotakan Tuhan.

Category: Waton Njeplak | Diserat: 23/08/2009 | Caci Maki (1)

Kang Togog otaknya benar-benar dibikin mogok pada satu petang menjelang Maghrib. Sembari memijit-mijit papan ketik di depannya, urat mukanya kosong dan tegang. Lembaran spreedsheet berisi angka-angka dengan banyak nol membujur ke bawah seperti sampai pada prostatnya. Enam digit angka dengan tanda minus di depannya membuatnya tak lekas bangkit dan terus mlongo melihat hasil perhitungan tambah kurang penghasilannya tiap bulan. Keinginannya yang banyak macam tiba-tiba menciut. Kali ini Kang Togog rontok kepongahannya. Dia tekor.

Masa membujangnya yang dibilang kawan-kawannya cukup lama jam terbangnya, memberikan kontribusi besar dalam ketidakcermatannya mengawasi kemana pundi-pundi recehnya pergi. Kang Togog yang dikamar sempitnya cuma berteman komputer, cukup ceroboh tidak menghitung-hitung hari depannya. Sebagai bujang normal suatu saat Kang Togog sadar harus berbini dan tentu saja harus memikirkan sebuah kediaman yang layak buat membikin anak kelak. Digit minus yang dihitungnya akhirnya membuatnya melek bahwa ia harus menyiapkan celengan untuk meminang seorang istri yang akan ikhlas telanjang tiap malam dan menyeduh kopi tiap pagi.

Kesadaran ganjil Kang Togog ini muncul ketika pagi harinya sebuah pesan pendek memberi kabar bahwa ia baru saja menjadi seorang om. Seorang keponakan perempuan baru lahir dan akan segera memanggilnya Om Togog, Om Gog, Om Tok , dan lain-lainnya. Tapi yang jelas, Kang Togog saat ini buntu dan merasa sangat bermasalah.

Persoalannya cuma satu, Kang Togog tak tahu dari mana celengannya harus diisi. Kran penghasilannya setelah dipotong pengeluaran rutin tiap bulan ternyata tidak bersisa, kalaupun ada itupun cuma cukup buat bayar parkir motor sehabis berlagak kaya di mall.

Kang Togog benar-benar terancam kedaulatan damai berpikirnya.

Otak belakangnya bertambah ruwet. Wujud keponakan yang dijenguknya selepas Isyak sekonyong-konyong nylonong menampar mukanya.
Pok!

"Om Togog...kapan ngasih aku kawan bermain?"

Bayi kecil itu seolah sudah rewel sebelum waktunya. Kang Togog menjadi tertegun. Tak lama benar Kang Togog membalas sang bayi dengan senyum pahit bibir hitamnya.

Dilluar kamar klinik bidan, Kang Togog kunyah asap batang kretek hanya supaya tetap sadar bahwa bayi tadi masih mungil dan mirip bapaknya.

Batin Kang Togog kemudian tertuju pada Niels Mulders ketika menyebut orang Jawa sebagai kaum seremonial. Kang Togog mulai membayangkan pasti akan ada ritual-ritual khusus yang akan digelar kawannya selaku seorang bapak baru merayakan hasil konspirasi bersama istrinya itu. Bukan bayangan suka cita yang tampak, bagi Kang Togog, seremoni-seremoni itu adalah pengali baru untuk digit minus yang masih digdaya menotoknya tadi.

Tapi tampaknya Kang Togog masih untung, tersebab masih punya banyak kawan yang lebih bijak darinya.

Di karpet merah sebuah kamar yang rudin, seorang berpostur sejahtera dengan sabar berujar kisah perjuangannya membangun sebuah keluarga. Dengan santunnya kawan itu bertutur bahwa niat baik adalah sebuah kesempatan yang tak berjalan buntu. Tuhan dikatakannya akan selalu membantu. Dalam sempitnya waktu, dengan segala penyerahan kepada sang Tuhan akhirnya masa paling tidak siap dalam siklus hidup sang kawan berhasil dilewati.

Kang Togog merasa semakin pagan namun tercerahkan.

"Lagi-lagi Tuhan jadi pelarian" sergahnya.

Tuhan memang hebat.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 18/08/2009 | Caci Maki (0)

Baginya buku adalah sumber pengetahuan yang sebenarnya. Buku merupakan rujukan terkemuka ketika harus membuat tulisan. Saking cinta dan tergila-gilanya, buku menjadi semacam tuhan dalam hidupnya. Ketika harus ngobrol meninggalkan baca buku, kalimat-kalimat yang diomongkan juga tak jauh-jauh dari buku, buku dalam arti harfiahnya. Dia tidak mengenal eBook terlebih Blog.

Cukup tertohok di benak ketika mata tajam dan kumis tipisnya bergerak mewanti-wanti agar aku yang tepat disampingnya untuk berhati-hati dengan internet. Dunia maya dalam otak dia yang dibungkus jidad selebar lapangan tenis adalah celaka tersebab menyimpan banyak dusta. Hebatnya, dia akan mencibir setiap tulisan ilmiah yang di halaman-halamanya tercantum catatan kaki berawalan http://, tidak terkecuali disertasi program doktoral. Perilaku manja dia tuduhkan untuk pencomot tulisan di laman-laman maya itu.

Bagi budak-budak internet seperti aku tentu harus nungging dulu untuk menerima logika berbeda dia. Entah pengalaman masa lampaunya yang kelewat payah atau memang trauma dengan kedigdayaan internet, aku tak tahu sehingga dia mengambil mahzab seperti itu. Yang aku tahu bahwa dia dengan sabar menanti menyandang gelar Drs. selama 13 tahun. Cukup lama waktu untuk sebuah gelar yang sekarang bisa dibeli dengan lembaran-lembaran seratus ribuan.

Dia memang pesimis terhadap uang dan harta, dengan ringannya bibirnya yang terkesan kejam akan miring ke atas sedikit ketika menyinggung para tuan dengan mobil dan berumah gedong nampang di tiap tempat. "Coba kau tanya, berapa buah buku yang mereka beli setiap bulannya?" begitu dia mengejek tuan-tuan yang kaya.

Mungkin itu deklarasi pembenaran akan kasmarannya terhadap buku, dan mungkin juga kekecewaan yang laten sepanjang karirnya disingkirkan dari hingar bingar kelicikan dan nafsu di kantor lamanya. Tak tahulah aku.

Tentang kisah asmaranya dengan buku, ia begitu lelah menyesal melihat anak didiknya di sebuah perguruan tinggi dengan gampangnya membuat sebuah paper dan makalah dengan memlagiat dari internet. Anak zaman sekarang dibilangnya sudah malas untuk membaca dan menyalin. Teknologi rupanya memberikan bentuk kecerdasan baru tanpa harus berpeluh panas di loak-loak buku-buku bekas. Namun dibalik kemudahannya justru melahirkan plagiator-plagiator handal dari mulai pekerja kantor hingga doktor.

Gejala-gejala ini dengan gamblang ia tuturkan melalui sebuah kontemplasi dari Pater Dick Hartoko tentang Anak Zaman yang pernah dibeberkan di Majalah Basis beberapa waktu silam. Kondisi mental yang terus terdegradasi oleh arus zaman membikin polah melahirkan generasi yang malas dari hari ke hari. Dia menuding globalisasi sebagai penyebabnya.

" Pernah dengar adagium Small is Beautiful?" Pancingnya.
" Sering, orang-orang semeter kotor bangga dengan itu."
" Tahu siapa pencetusnya?"
" Embuh..."

Rentetan petuah selanjutnya dapat ditebak. Uraian tentang ketidaksetujuan E. F. Schumacher terhadap globalisasi yang menelorkan krisis energi tahun 1973 tergamblang jelas seperti aku membaca Small Is Beautiful: Economics As If People Mattered tulisan karib John Maynard Keynes dan John Kenneth Galbraith itu.

Satu setengah jam sudah sejak kedatanganku menghadap seperti saat sat setahun yang lalu. Kesan yang sama dan sikap duduk serupa masih belum berubah kulakukan ketika menelusuri setiap mimiknya. Setidaknya sekarang aku agak sedikit bengal membantah dan menyanggah. Pertanyaan yang mungkin akan membuatnya mengejek dan tersenyum kaku.

"Dimana bisa kutemukan kisah Dick Hartoko?".
"Kemana aku bisa pinjam itu Small is Beautiful?.

Dia terdiam. "Coba kau buka dulu internet, di situ mungkin ada"

"Baiklah.."






Category: Waton Njeplak | Diserat: 04/08/2009 | Caci Maki (0)

« 1 2 ... 4 5 6 7 8 ... 14 15 »

Bendera Bunderan HI

Tag Board

Blog buat murtad motret
,