Home | Registration | Login | RSSRebo, 22/05/2024, 06:49

Teguh Hardi Murtad Fotografi

Menu Saji
Kemurtadan
Waton Njeplak [44]
Nyelathu Umuk Goblog Keblinger
Sajak Njeplak [17]
Login form
Login:
Password:
Main » Waton Njeplak
Tidak punya telepon rumah, riwayat diusir paksa dengan ramah

Kisah hidup perantau di Ibu Kota Negara tercinta yang juga terlaknat memang menggemaskan. Bahkan untuk urusan membikin rekening baru di bank, para calon nasabah harus dibikin keki setengah malu. Termasuk Kang Togog.

Pada satu jumat siang, Kang Togog berniat ingin punya kartu ATM baru setelah berpikir pengiriman duit lewat wesel pos selama ini, ongkosnya terasa makin mahal. Dengan sigap sesampainya di teras bank, sebut saja Bank 'Berdikari', dia memarkir motor gembelnya di sela-sela mobil yang juga diparkir disitu. Bank ini cuma kantor cabang pembantu sehingga parkirannya pun seadanya dengan dengan penjagaberkaos dan bersandal jepit. Jadi maklum jika manajemen parkirnya elegan bergaya preman.

Satpam segera membukakan pintu buat kang togog sembari menguluk salam siang. Ada dua buruh wanita yang tampak bersiaga melayani tamu yang datang. O ya! Kang Togog tak biasa dengan istilah cutomer service. Buruh di meja dekat pintu masuk tampak lebih menarik, tapi sayang menampik kang togog yang kemudian mengalihkannya ke rekan sebelahnya. Kang Togog memang lusuh, jadi tampaknya wajar jika harus diperlakukan begitu.

Dengan semangatnya, wanita kedua didepan kang togog mengajak jabat tangan.
 
'Saya Henda, bisa dibantu, Bapak?'
'Saya mau mbuka rekening, Mbak Renda.'

'Bisa minta KTPnya, sama nomor telepon rumahnya'.
'Waduh, kalo nomor telepon punya, tapi kalo rumah di jakarta enggak punya.' Mbak didepan kang togog cuma senyum mencibir.

'Nomor telepon tempat tinggal sekarang?'
'Saya ngekos, mbak'

'Bapak punya saudara?'
'Sebentar, mbak. saya sms saudara yang punya telepon rumah'

Sangkaan Kang Togog rupanya keliru. Pikirnya, dengan hanya bermodalkan KTP Jakarta yang dibelinya seharga 125 ribu rupiah bisa bikin rekening baru di kantor pemakan riba itu. Permintaan mbak buruh tentang nomor telepon rumah, benar-benar menohok naluri kemiskinannya. Prosedur sepihak memang kejam, batinnya. Cukup lama, Kang Togog pencat-pencet hapenya pura-pura SMS.

'Sudah dapat,Pak nomornya?
'Sebentar, saya telepon saja'

Belagak tanya-jawab dengan entah siapa, Kang Togok tidak sengaja memasang tampang kecewa dan mutung. Mbak-mbak berbaju putih dengan renda-renda didepannya mulai tak sabar dan beringsut keluar dari duduknya.

'Sudah, Paak..?'

'Sebentar lagi, katanya mau di SMS nomernya.'

'Maaf, Pak. Sudah ada 2 customer menunggu di belakang bapak'

Kang Togog mulai mengendus perlakuan kasar, merasa diusir dan tidak layak berlama-lama di ruangan itu.

'Enggak ada yang nyuruh mereka nunggu.' Ketus Kang Togog.

'Kami harus melayani semua tamu, pak'. Sekilas Kang Togok melirik sejurus ke depan. Benar-benar tampang budak kapitalis yang dihadapinya.

'Mbak, suruh saja bos mbak cari tambahan pegawai baru.'
'Baiklah, Pak. Saudara bapak tadi punya rekening di Bank 'Berdikari?'
'Punya, namanya Mbilung Bin Bagong, dan dia juga ngekos'
'Hubungannya dengan bapak, Om atau sepupu?'
'Yang pasti dia sudah tidak jomblo lagi, mbak...!'

Wanita itu pura-pura tidak menggerutu sembari mengetik sesuatu di komputernya. Kemudian dengan agak cepat mengangkat telepon.
'Selamat siang, benar ini rumah bapak Mbilung?...Bukan ya bu, maaf salah sambung'. Telepon ditutup dan segera menghadapi Kang Togog seperti sedang belajar senyum.

'Maaf sekali, Bapak Togog. sebaiknya setelah ada nomor telepon rumah nanti bapak baru kembali lagi kesini'

'O begitu..ya sudah'

Dongkol Kang Togog menyeret paksa bokongnya untuk berdiri beranjak segera pergi. Baru tiga langkah, Kang Togog sekonyong konyong balik badan.

'Berapa nomor yang tadi mbak telpon?'

'Maaf, Pak. Kami tidak boleh memberitahukannya'
'owh..'

Tidak seperti ketika masuk tadi, Kang Togok keluar bank tanpa membalas senyum aneh satpam yang setia berdiri sejak setengah jam yang lalu.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 09/10/2009 | Caci Maki (1)

Sabar saat harus muncul dalam kenyataan konteks panjang perjuangannya melebihi dari definisinya yang selalu dibatasi. Pada tiap kesempatan dan keinginan di satu waktu akan menjadi sempit ketika harus mengalah pada kesabaran. Tapi memang sebuah jalan kadang mewajibkan demikian agar dia bisa lurus tak menyimpang bertahan pada jalurnya.

Dan kesabaran kadang kala juga bersempadan tipis dengan sesak yang ditahan. Namun belum jadi gang buntu jika di seberangnya ada tempat untuk berhenti mengantuk dan tidur. Ketika datang kesadaran, sempitnya kebijaksanaan akan mengutuk tuhan yang melengkapi manusia dengan hati. Segumpal darah yang menjadi sumber penyakit bagi jiwa dan membatasi jalan antara manusia dengan Kekasihnya itu.

Lebih buruk manakah kelihangan hati atau nyawa jika keduanya adalah pilihan terbaik agar bisa lepas dari kesabaran?

Satu pertanyaan usil bilang, menjadi sabar katanya bakal dicinta tuhan, tapi bukankah dia tetap mahapenyayang meski manusia selalu gusar?

Hakikat kesabaran memang menjadi meragukan pada maknanya yang selalu sakit, dan tampaknya selalu demikian karena tuhan juga mencampakkannya.

Lalu jalan manakah yang menjanjikan kelapangan saat kesabaran mulai usang?

Memutus nikmat tuhan sudah sering dikatakan terkutuk, mengambil putusan antara pilihan hidup atau mati akan menjadi jalan dengan naungan sudut pandang tuhan yang berbeda pula sebab memang keduanya masih menjadi area kuasaNya.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 25/09/2009 | Caci Maki (2)

Nyaman di Tiap Tempat Tergantung Minat

Seperampat abad hidup Kang Togog, berbulan puasa semakin tahun semakin meredup dengan semangat menyurut terkatup. Jika kecil dulu ketika di kampung siang hari dihabiskan seharian mancing di kalen (parit sawah) dan merdeka dari godaan, sekarang tampaknya ancaman kemulusan puasa semakin lebar dengan godaannya yang banyak warna. Terlebih Jakarta, tempat nyaman berlapar haus dan menindih syahwat hanya mungkin jika mengurung badan di kamar atau bersemedi di rumah-rumah tuhan yang berkubah. Bergumul dengan pernak pernik amalan di malam harinya juga selalu terburu dan ditunggu ini itu.

Tapi satu saat di bulan puasa tahun lalu, jahanamnya godaan Jakarta agak reda ketika masjid sebelah rumah memberikan warna dan suasana ketuhanan yang sudah lama seperti berhibernasi. Pendiri masjid menamai masjid itu 'Ummu Sakinah', letaknya 500 meter masuk kedalam dari pertigaan Menara Salemba.

Bukan bangunannya yang hampir mirip gereja pantekosta membikin betah jamaahnya, tapi kedigdayaan para imamnya yang bisa bersenandung seperti di para imam Mekah saat bertarawih 8 kali Fatihah. Ada dua imam utama dengan gaya bacaan yang berbeda, Ustad Ahyar yang tenor dan Ustan Parman yang bariton ketika memimpin salat. Rokaat demi rokaat menjadi sangat sadar jauh dari bayangan-bayangan kesibukan di pikiran. Mungkin terlalu subyektif, tapi salat adalah hubungan privat hamba-tuhan meskipun dilakukan beramai-ramai.

Lain tempat lain pula kesan nikmat. Setelah pindah tempat tinggal, pindah pula masjidnya. Bulan puasa sekarang berganti suasana dengan tarawih 20 rakaat di lingkungan salah satu habib yang ada di Jakarta. Tarawih 20 rakaat sekarang memang kurang nyaman, agak gerah di dalam dan riuh anak-anak berceloteh ramai. Tidak semuanya buruk tentu saja. Suasana khas NU di kampung dulu sepertinya muncul lagi dengan bacaan imamnya yang cepat dan qunut tiap kali masuk tengah bulan. Paling tidak kesan nikmat kerinduan kampung setengah jam dapat dirasakan.

Sebenarnya bukan jenis masjid dan isinya yang harus dipersalahkan, tapi paling tidak ada peran kecil yang tidak bisa dilewatkan. Kualitas dan jumlah pdkt dengan tuhan sekarang terus terjun menurun, jarang bermesraan dengan tuhan ketika fajar, bahkan jatah rutin melalap firman tuhan mulai surut halaman per halaman. Meskipun Nyoman S. Pendit bilang ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci” tapi Kang Togog sudah terlanjur terdogma untuk bisa menamatkan paling tidak setahun dua kali.

Kini setelah lebaran kurang sebelas hari lagi, pencerahan ke jalan tuhan tidak juga kunjung datang. Harusnya jika merujuk para perapal Quran dan Hadis, jalan ke arah ampunan harus lebih dipacu agar tenggat sebulan berpuasa bisa berakhir sempurna. Namun, dengan kondisi kekalahan yang ada, kalah pada hidup dan kalah pada kondisi. Yang tertinggal cuma pertaruhan dan dalam pengertian Deleuze, Kang Togog adalah ”pemain dadu yang buruk”. Masuk gelanggang dengan mengusung teori kemungkinan. Bermimpi sehabis Ramadhan Kang Togog menjadi lebih bertuhan meski tak banyak amalan.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 09/09/2009 | Caci Maki (3)

« 1 2 3 4 5 6 7 ... 14 15 »

Bendera Bunderan HI

Tag Board

Blog buat murtad motret
,