|
Main » Waton Njeplak
gambar: berandasuluk.blogsome.comRekor baru aksi guling-gulingan di jalan umum ditorehkan. Ya, saya sendiri yang melakukan dengan tunggangan motor yang belum lunas. Tidak kurang dari sepuluh menit seorang pengendara motor dan Mikrolet M01 dengan sukses saya tubruk di belakang. Pada pagi yang ngantuk hari ini. Rem belakang sialan sepertinya berhak saya maki. Kutu kupret betul memang, ketika dibutuhkan diam-diam malah berkhianat tak mau berkompromi setelah diinjak-injak berulang kali. Satu liukan yang cuma mangandalkan cakram depan akhirnya jadi petaka. Badan limbung ke kiri, mak gubrak, guling-guling menganvas aspal. Tan-tin-ton klakson mobil di deret belakang sahut menyahut, untung saja masih toleran tidak langsung melindas. Pengendara motor yang saya tubruk malah terlihat cemas meski tetap nangkring di joknya. "Wis mas, gak papa saya cuma diving kok". Langsung tancep gas sambil mringis-mringis. Lima puluh meter prapatan Matraman di depan harus dikejar biar lampu merah tidak terasa menyebalkan. Berhasil. Selepas prapatan macet ini memang menuntut keterampilan berkendara dan kemampuan rem yang prima. Bayang-bayang angkot yang berbelok dengan sempurna dalam sepersekian detik dapat mengancam siapa saja. Tidak terkecuali jatah sial kedua saya. Lagi-lagi setang yang saya pegang berkelok liar, mak gedabruk, bemper Mikrolet dan ban depan gundul berciuman secara tidak mesra. Terpaksa saya harus mengulang adegan berguling seperti sepuluh menit yang lalu. Agar tak malu jadi seleb dadakan sesegera mungkin saya harus terbirit enyah dari tempat itu. Sesampai di Kampung Melayu yang lebih ganas dan mulai agak panas terpaksa pelan-pelan harus melipir di pinggir agar selamat sampai di tempat yang dituju. Malu campur bawur sebah senep karena dua akrobat tadi harus dicari kambing hitamnya agar tidak di perolok kalau ketahuan rekan sejawat. Fesbuk keliatannya layak. 'Gara-gara semalaman ber-fesbukan, akibatnya dahsyat lho...bisa jadi atlet sekaligus artis mendadak, walau harus meringis-meringis' Sate kambing hitam bumbu gengsi memang klop. Malu kok cari kambing hitam!
|
foto: 4.bp.blogspot.com
Seorang punggawa LSM pembela konsumen mendadak gusar dengan BLT yang dibagi-bagi selama ini.
Tidak merokok harus menjadi salah satu syarat penerima dana bantuan langsung tunai (BLT) supaya pelaksanaan program pemerintah itu tepat sasaran. Demikian lantangnya kata-kata ini hingga menohok paru-paru coklat kekuningan para kaum miskin.
Belum puas menghujat orang-orang miskin perokok, priyayi itu berseloroh, "Sebab bagaimana mungkin rokok yang tidak bermanfaat dan memberikan efek negatif malah menjadi prioritas tertinggi di masyarakat miskin,"
Mampus!
Sodoran angka-angka bisu dipampang, sekitar 50 persen dana BLT itu digunakan masyarakat untuk membeli rokok. Penerima BLT ada sekitar 19 juta rumah tangga sasaran (RTS), sementara dua pertiga rumah tangga miskin di Indonesia adalah perokok aktif. Dari analisis tersebut, ternyata 50 persen dari 19 juta RTS itu, dana BLT dialokasikan untuk membeli rokok.
Para miskin pemuja kretek diam, melongo mendengarkan ceramah, "Kondisi itu jauh dari pemanfaatan yang diarahkan pemerintah untuk dana BLT itu sebab ketika RTS mengalokasikan untuk rokok, berarti menggeser kepentingan pendidikan dan kesehatan."
Memang pintar benar orang kaya ini berujar.
Menurut dia, kalau dalam konteks pengendalian tembakau, untuk mengentaskan kemiskinan tersebut bukan melalui program BLT, tetapi bagaimana pemerintah memutus mata rantai ketergantungan warga miskin terhadap tembakau, seperti menaikkan cukai rokok. Semakin sedih kami para kaum klepas klepus mendengar ancaman ini.
Orang miskin juga berhak membela.
Beri satu jeda agar kami, kaum miskin perokok menyampaikan pledoi kepada saudara2 yang kaya, pintar dan tidak merokok .
Kami tidak pernah mengusik pekerjaan dan status tuan-tuan sekalian. Sudah cukup sibuk dan kewalahan kami menjadi babu-babu kemelaratan. Kretek harga lima keping gopek sudah cukup untuk melupakan sejenak jerit lapar anak bini.
Saat lembaran merah dari pemerintah dibagikan, jerit-jerit lapar itu sebentar tertahan, jika uang yang banyak itu disita, apakah tuan yang kaya, pintar dan tidak merokok mau menggantinya?
Kami memang miskin, tapi tidak rakus.
Saya tidak sepintar para tuan mengadu debat mencari kesalahan yang bukan porsi kami.
Tuan-tuan cukup menjadi miskin untuk bisa paham.
|
Kedai itu disangga dua buah bambu masing-masing setinggi 2 meter kiri kanan. Bekas kain reklame ditarik pada dua sisinya untuk menahan daun-daun Mahoni yang tepat disamping kanannya. Di antara dua tiang bambu sederet bungkusan minuman siap saji tampak bergelantungan. Sebuah pajangan berisi buah dan blender juga tampak disana.
"Kopi yang itu, Bang" " Minum sini?" " Ya"
Aku letakkan bokongku dikursi tanpa sandaran milik penjual mie goreng yang jauh hari sebelum tukang minuman ini muncul, sudah bermonopoli di tempat itu, pas di pinggir jalan depan sebuah masjid.
Malam ini sehabis tanding bola yang penat, sepiring mie goreng dan segelas kopi rasanya cukup untuk meluruh dongkol kebobolan 5 gol petang tadi.
Sebatang kretek kudus kulolos dari saku. Sial! korek ketinggalan.
"Ada korek, Bang?" "Ada, Bos. Abang dari Medan?" "Kok?" " Saya hapal logat orang2 dari daerah" " O, saya memang beberapa bulan pernah di Medan. Tapi saya Jathul, Jawa Tulen." Logat medhok terdengar sejurus kemudian.
Lima belas menit sepiring mie goreng tandas. Waktu yang cukup lama untuk standar orang yang sarapan tiap pagi melanggan di warteg. Sudah kebiasaan ketika bersantap, bara rokok tetap menyala ditangan kiri sementara tangan kanan mengais yang ada dipiring.
" Perasaan kemaren2 kedai abang ini belum nampak?" "Saya baru pindah dari cafe saya di Sarinah. Bukan permanen memang, pake tenda" " Lah, macam mana bisa begitu" " Biasalah, tiba-tiba saja kafe itu dirusak orang tanpa bekas utuh." " Ceritanya?' " Kata kawan kepercayaan saya yang jaga kafe itu bilangnya diobrak-abrik satpol PP, tapi sepertinya bukan, masak satpol PP merobek-robek pake pisau."
" Lanjut, Bang"
" Saya tahu, itu ulah kawan saya yang memang bermasalah dengan salah satu kelompok. Mereka kira cafe itu miliknya" " Gak disuruh ganti?' " Gak lah, sama-sama dulunya orang susah. dulu sebelum cafenya gedhe, ya saya berangkat dari seperti sekarang ini. Pelan-pelan berkembang hingga akhirnya saya bisa dugem tiap akhir pekan,"
Kutenggak gelas sisa-sisa kopi. Tukang minuman didepanku membetulkan kacamatanya.
" Tidak hanya sekali saya jatuh bangun buka usaha seperti ini, setelah 2 tahun sejak kejadian di Sarinah itu, baru kemudian saya jual Hape buat dagang sekarang ini. Kemarin anak-anak sekolah yang singgah protes katanya kemahalan."
Aku harus memasang kernyit dahi mendengar ucapannya.
"Ya memang saya jual empat ribu karena tidak pake gula buatan dan pernak-pernik yang memang sengaja saya tambahkan. Hal yang sama saya lakukan dulu."
"Pantes, kopi abang ini agak aneh kurasa."
'"Dulu saya pake silver queen yang digerus untuk atasan minuman, bahkan saya bisa tambahkan vodka tanpa tercampur dengan lapisan minuman dibawahnya. Pokoknya saya buat semenarik mungkin tanpa menanggalkan rasanya"
"hmmm...hmmm"
"Bahkan kalau pelanggan bilang gak enak, saya tolak uang yang mereka sodorkan."
" Boleh juga tu, Bang"
Seorang perempuan paruh baya datang kemudian memesan. Kopi juga. Diblender dengan es batu.
Hampir 30 menit aku disana sejak datang ke kedai di pojok Salemba itu, Sudah empat pembeli datang termasuk aku. Kuhitung jika abang minuman ini buka kedai sejak pukul 9 pagi hingga 10 malam dengan kondisi seperti malam ini mungkin 352 ribu akan ia kantongi. Tapi sepertinya tidak akan sebanyak yang aku sangkakan.
Jikalaupun benar demikian, tentu saja aku harus mengecutkan nyali. Penghasilanku sebulan jauh mengukur langit dibanding lipatan uang didompetnya.
Tapi bukan itu yang membuatku terngiang-ngiang. Kegigihannya jatuh bangun dari keterpurukan yang tidak diinginkannya kuanggap biasa jika ingin tetap hidup di Jakarta.
Cuma satu umpatan.
Jancuk! Hapeku gak mau motret tukang kedai itu. Batere modar.
|
« 1 2 ... 5 6 7 8 9 ... 14 15 » |
|
|