|
Main » Waton Njeplak
Sebuah dunia pasca kekalahan realisme sosialisme adalah petak-petak wilayah dengan berbagai standar dan aturan yang diimlakan oleh negara-negara angkuh pengusung liberalisme kapitalisme. Negara-negara kelas bawah yang pada mulanya menghendaki kemerdekaan dan kedaulatan sekaligus menghasratkan diri jadi bagian dari dunia modern nampaknya tidak sepenuhnya bisa duduk sebangku dalm kelas yang sama. Ada tabir tuntutan dan ukuran. Sebuah ukuran yang oleh Mahbub ul Haq disebut “kehidupan mulai pada tingkat pendapatan 1.000 dollar AS”.
Salah satunya dalam golongan kelas sudra itu mungkin kita bahkan negara tercinta ini. Menjadi kaum kelas bawah yang dibujuk dengan hak formal untuk mengejar ketinggalan dengan ikhtiar pembangunan ekonomi. Kita cemas dan sekaligus merasa mempunyai kesempatan. Tapi sayang, dalam kenyataannya, kesempatan itu banyak ditentukan oleh milik dan banalnya modal. Kita sebenarnya cukup mempunyai itu, namun entah apa biang persoalannya kita selalu ketinggalan.
Ketertinggalan dalam sebuah dunia modern, sebuah kubangan penuh gerah persaingan. Berisi kompetisi penuh borok di mana banyak negara dipaksa memutar otak agar bisa bersanding sederajat atau paling tidak bisa bernafas meskipun terengah. Menjadi tersengal dengan keterbatasan sumber daya dan kesempatan secara bersamaan. Dalam bahasa Brown and Lauder sebuah sistem Neo-fordism telah terbentuk dengan pelbagai himpitan standar dan ukuran yang nyaman dalam sistem neo liberalisme. Dan tentang Neo Fordism itu, telah dicela oleh Ivan Illich yang berujar tidak sampai seratus tahun usianya, masyarakat industri telah berhasil membuat cetakan-cetakan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan keperluan manusia dan menundukkan kita pada iman, bahwa keperluan manusia memang sudah dibentuk oleh sang Pencipta menjadi tuntutan-tuntutan bagi hasil yang kita temukan. Namun kesempitan bukan jalan buntu tanpa terobosan mengular keluar. Dalam rumusan Szreter, masih ada alternatif harapan tentang keberadaan sosial capital sebagai penyelesaian. Social capital adalah kendaraan utama pembaharuan ekonomi dan persaingan, bahkan Brown dan Lauder memberikan dukungan sebagai sebuah penghubung keadilan sosial dan efisiensi ekonomi.
Urgensi social capital dalam konteks kekinian kita adalah perlu dan penting. Mengapa kita katakan demikian? Alasan utamanya tidak lain: Pertama, bahwa diakui saat ini kita memiliki konstrain yang sangat besar dalam hubungannya dengan ketersediaan kemampuan dukungan bersaing yang memadai. Kendala ketersediaan modal dalam bentuk dana/finansial yang tercerminkan dalam masalah krisis fiskal yang dihadapi kita telah mengurangi kemampuan negara berperan sebagai stimulator untuk bisa sederajat dengan negara lain. Dengan demikian, kita perlu meningkatkan keberadaan modal nonfinansial untuk membantu mengakselarasi stimulasi kemampuan daya saing dan social capital adalah bentuk substitusi modal finansial yang layak diakselarasi dan diakumulasi keberadaannya.
Sebagaimana yang dikemukakan para pakar pengkaji social capital antara lain Putnam (1993), yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu ukuran daya saing sangat berkorelasi positif dengan kehadiran social capital, begitu juga seperti yang dikemukakan oleh Szreter yang menemukan bahwa perusahaan-perusahaan, kota-kota, industri regional dan ekonomi nasional dapat berfungsi secara lebih efisien jika terdapat di dalamnya social capital yang tinggi dalam bentuk penghormatan satu sama lain (mutually respectful) dan hubungan kepercayaan (trusting relationship) antar warga. Senada dengan yang dikemukakan Szreter tersebut, Putnam menunjukkan dari hasil risetnya tentang pertumbuhan ekonomi di Italia bahwa pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat akan baik jika social capital berikut dimiliki oleh masyarakat tersebut. Putnam menyebut hadirnya hubungan yang erat antar anggota masyarakat, adanya para pemimpin yang jujur dan egaliter yang memperlakukan dirinya sebagai bagian dari masyarakat bukan sebagai penguasa dan dan adanya rasa saling percaya dan kerjasama diantara unsur masyarakat sebagai sebuah syarat terbentuknya social capital.
Sementara, Fukuyuma dalam bukunya ”Trust” mendefinisikan bahwa social capital (social capital) sebagai norma informal yang dapat mendorong kerjasama antar anggota masyarakat. Dari definisi ini Fukuyama melihat bahwa aspek kerjasama (cooperation) menjadi unsur penting dalam berusaha. Untuk bekerjasama diperlukan kepercayaan diantara anggota kelompok yang bekerjasama. Oleh karena itu kepercayaan atau (trust) menjadi syarat yang mutlak. Bagaimana orang bisa kerjasama bila tidak didasari oleh sifat ini.
Coleman (1988) membuat definisi bahwa social capital dalam dua hal, sebagai struktur sosial, dan yang memfasilitasi suatu tindakan oleh para pelakunya. Dari definisi Colemen ini, terbangunnya suatu social capital hanya bisa dicapai bila orang-orang yang terlibat di dalamnya tergabung dalam suatu struktur sosial, semacam organisasi atau paguyuban. Dengan adanya paguyuban ini akan memfasilitasi (memudahkan) para anggotanya untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan bersama.
Pada kesempatan lainnya, Putnam (1995) melihat social capital sebagai fitur kehidupan sosial. Fitur ini terdiri dari jejaring (networks), norma (norms) kepercayaan (trust) yang mampu menggerakkan partisipasi anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Disamping itu, Lin (2001) mencoba membedakan konsep antara social capital dengan jaringan sosial (social networks). Dalam definisinya tentang social capital, ia menjelaskan bahwa social capital adalah sumber daya yang melekat dalam jaringan sosial dan digunakan oleh para pelakunya untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari keempat batasan di atas, dapatlah diidentifikasi bahwa social capital itu berupa jaringan sosial. Jaringan ini terstruktur, dan dari struktur tersebut terdapat unsur-unsur kepercayaan, dan norma yang mengatur di dalamnya. dibangunnya jaringan soial ini adalah untuk mencapai tujuan bersama-sama. Definisi inilah yang menjadi dasar dan amunisi baru untuk berperang melawan ketidaksederajatan sistem neo fordism. Masing-masing negara dituntut untuk mampu menempatkan sebuah kerjasama dan membentuk jaringan yang saling percaya. Sebuah ketulusan untuk mau berbagi dengan hierarki yang tidak lagi kaku, sebuah upaya saling mendorong untuk bisa berkelindan maju. Gagasan-gagasan Gandhi tampaknya juga menjadi relevan kembali. Sebab kita memang harus menelaah posisi kita: sampai berapa jauh kita telah terjebak, hanya memaki-maki apa yang hanya disebut tanda-tanda kemiskinan dan keterbelakangan. Sebuah penelusuran kekuatan yang ada perlu disingkap agar bisa tergugah. Usaha yang panjang tentu saja tetap diperlukan Memang semua itu nampaknya tak mudah. Mengubah pandangan yang sejak lama terpikat oleh kemegahan dunia modern menjadi sikap bermasyarakat yang berdasarkan pada kemiskinan untuk mau berubah. Pastilah mustahil hanya dengan berkeluh dan berceramah namun pilihan kita kini ialah menghendaki perubahan semacam itu, atau membiarkan proses seperti sekarang berlangsung terus.
(Kutipan dari berbagai sumber)
|
Idul Fitri dalam tradisi orang Temanggung, Jawa Tengah disebut Bodo (o dilafalkan seperti pada 'sodok'). Layaknya di setiap daerah yang menyimpan tradisi uniknya saat Idul Fitri, di Temanggung pun tiap kali Bodo, digelar tradisi unik yang dilakukan selepas sholat Id terutama di pelosok-pelosok dusun. Mereka menyebutnya tradisi itu Pamungan.
Di sebuah dusun kecil, Mluweh yang berada dalam wilayah administrasi Kec. Kandangan, Pamungan dilakukan warganya dengan berbondong-bondongn menyunggi tampah berisi nasi, lauk, sayur dan kerupuk yang dijajar di pelataran rumah Bayan (kepala dusun). Mereka berangkat dari rumah setelah Bayan menabuh kentongan sebagai Pamungan akan segera dimulai. Pada tabuhan pertama, warga diingatkan untuk bersiap, dan tabuhan kedua warga mulai berangkat sembari menyambangi tetangga-tetangga sebelahnya.
Sesampainya di rumah Bayan sembari menunggu yang lain, celoteh dan obrolan khas 'ndeso' riuh terdengar. Memang tak sepenuhnya seluruh warga dari dusun empat RT itu datang Pamungan. Namun jumlahnya dapat dihitung, dan biasanya hanya warga-warga kaya di dusun itu.
Tak berselang lama, Kaum (tokoh agama) akan memberikan sambutan singkat dilanjutkan mengucap doa. Warga segera membuka penutup tampah agar piring-piring makanan mereka terjamah berkah doa yang dilantun. Meski sajian terlihat apa adanya, tapi terlihat sedap karena disantap bersama selepas doa.
Dusun Mluweh memang tak akrab dengan gemuruh opor ayam dan ketupat saat Bodo. Mungkin ini yang menjadi salah satu keunikannya. Bahkan di pelataran Bayan itu, agak ganjil jika membawa makanan yang berkuah seperti opor. Ketupat pun dianggap bukan makanan sakral karena statusnya hanya sebagai barang dagangan bagi penjual Kupat Tahu. salah seorang warga bertutur, Simbah Kyai Wulung, pendiri Dusun Mluweh, memang tidak mengenalkan tradisi ketupat dan opor ayam pada perayaan setelah 30 hari puasa itu. Terutama sekali pada Pamungan yang seperti festival makanan tanpa kategori dan trofi.
Pamungan digelar warga sebagai bentuk syukur tamat menjalankan puasa dan anugrah Gusti Allah bisa menikmati Bodo tahun ini. Kata Pamungan sendiri mempunyai arti makan secara bersama sama di tempat tetua dusun yang menjadi Pamong. Bayan bagi warga Mluweh adalah Pamong yang bertindak sebagai pemimpin dan pengasuh dalam kehidupan sehari-harinya.
Tidak hanya Bodo yang diwarnai Pamungan. Momen seperti Syawalan di hari ketujuh Bodo juga di-ritual-i Pamungan.Nyadran (bersih desa dan ziarah) menjelang puasa juga sama, bahkan perayaannya tampak lebih meriah dengan gelaran acara tari Kuda Lumping ataupun pementasan Ketoprak. Pamungan bagi warga Mluweh tidak hanya bermakna seremoni makan-makan. Lebih jauh bagi mereka, tradisi itu telah turun temurun dari generasi moyang Simbah Kyai Wulung sampai generasi sekarang.Sebuah bentuk penghargaan budaya terhadap leluhur yang babat alas mendirikan dusun mereka.
|
Tentang seputar kelamin itu kini jadi barang publik
Ada fenomena menarik dalam buana keindonesiaan kita belakangan ini. Masalah seputar nafsu primitif manusia kini menjadi konsumsi publik yang dapat disimak dengan mudah dan murah. Kemudahan akses ini ujung-ujungnya merubah kelasnya yang elit tabu menjadi tontonan menghibur bagi siapa saja. Kata elit di sini merujuk pada budaya ketimuran yang mengharuskan pelakunya berada dalam lembaga pernikahan dan tabu karena terkait seputar urusan kelamin. Kemajuan teknologi tampaknya berperan besar sehingga masyarakat bisa dengan gampang mengakses barang tabu tersebut, meskipun tak layak jadi kambing hitam. Dipicu penampikan kedatangan artis jepang Miyabi dan publikasi dakwaan cabul oleh jaksa dalam kasus dengan terdakwa mantan Ketua KPK Antasasri Azhar, isu tentang percabulan menjadi semakin populer di kalangan orang ramai setelah era goyang dangdut erotis, video mesum para anggota dewan, dan kelakuan mesum artis-artis kita yang marak beredar di internet.
Ada perubahan karakter masayrakat dalam menyingkapi hal mesum ini. Jika era 80 sampai 90-an masyarakat hanya bisa menikmati hal mesum ini di bioskop dengan sejumlah ongkos tertentu, kini cukup dengan koneksi internet yang murah bahkan gratis jika menggunakan jaringan di kantor, berbagai tayangan mesum itu bisa didapat dan dinikmati. Lebih tragis lagi lembaga peradilan pun turut memberikan contoh kurang layak ketika Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Antasari dengan gamblang bercerita tentang kemesuman Antasari menggerayangi Rani Juliani. Lagi-lagi masyarakat bisa mengakses dengan gratis tontonan yang menghadirkan imajinasi tabu ini hanya dengan duduk di depan televisi. Mudahnya akses terhadap hal mesum ini berdampak bertambah luasnya rentang publik dalam mendapatkannya.
Ketika orang kesulitan mencari tontonan cabul, meminjam istilah E, Savas barang ini masuk kategori private goods karena tidak semua orang bisa menikmati dan sifatnya yang infeasable. Private Goods mengharuskan seseorang untuk mengeluarkan pengorbanan tertentu untuk mendapatkannya. Sementara saat pemberitaan Miyabi dengan latar belakang karir film porno beserta videonya dapat diakses gratis di berbagai media, hal cabul ini berubah julukan menjadi public goods. Meskipun teori Savas mennyertakan publik good sebagai ranah pemerintah/negara untuk menyediakan, namun kasus Miyabi yang sampai merepotkan petinggi kebudayaan dan pariwisata meneguhkan bahwa negara sudah terlibat dalam urusan ini. Kondisi ini diperkuat dengan lembaga negara yang mengurusi keadilan turut mencabulkan sebuah kasus pembunuhan. Tidak sepatutnya jaksa bercabul-cabul dalam dakwaannya kepada Antasari, karena lewat pemberitaan yang disebar luas, masyarakat justru akan semakin maklum dengan hal-hal cabul bahkan melegitimasi pemerintah/negara memberikan restu kepada hal-hal mesum.
Dan tentu kita tidak berharap lebih jauh dengan adanya sebuah lembaga resmi pemerintah dengan fungsi pelayanan menyuplai barang-barang cabul untuk rakyatnya hanya karena hal-hal mesum sudah menjadi barang publik dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Yang perlu diharapkan dari pemerintah/negara adalah memberikan sebuah karakter kepada masyarakat bahwa hal-hal mesum tidak memberikan konstribusi positif bahkan merugikan. Tentu cara-cara melakukannya harusnya tidak seperti proganda-proganda orde-orde yang telah lalu. Hal mesum yang sifatnya menghibur itu, terlebih penyebarannya yang sudah sedemikian luas menuntut cara-cara cerdik dan lihai. Tentang langkah konkretnya kita pikir banyak lembaga di negeri ini yang lebih kompeten. Menangkal percabulan menjadi sangat penting bagi sebuah negara agar anak-anak generasi penerusnya tidak menghabiskan waktu bermasturbasi akibat gempuran tontonan cabul. Bahkan seruannya sejak tahun 1965 sudah berkumandang baik oleh orang bertato palu arit maupun yang berjenggot berpeci.
Derajat Miyabi dan cerita cabut jaksa penuntut umum harus dikembalikan ke derajat semula, menjadi benda yang infeasible dan dibandrol derajat ke-tabu-an yang setimpal.
|
« 1 2 3 4 5 6 ... 14 15 » |
|
|