Nyaman di Tiap Tempat Tergantung Minat
Seperampat abad hidup Kang Togog, berbulan puasa semakin tahun semakin meredup dengan semangat menyurut terkatup. Jika kecil dulu ketika di kampung siang hari dihabiskan seharian mancing di kalen (parit sawah) dan merdeka dari godaan, sekarang tampaknya ancaman kemulusan puasa semakin lebar dengan godaannya yang banyak warna. Terlebih Jakarta, tempat nyaman berlapar haus dan menindih syahwat hanya mungkin jika mengurung badan di kamar atau bersemedi di rumah-rumah tuhan yang berkubah. Bergumul dengan pernak pernik amalan di malam harinya juga selalu terburu dan ditunggu ini itu.
Tapi satu saat di bulan puasa tahun lalu, jahanamnya godaan Jakarta agak reda ketika masjid sebelah rumah memberikan warna dan suasana ketuhanan yang sudah lama seperti berhibernasi. Pendiri masjid menamai masjid itu 'Ummu Sakinah', letaknya 500 meter masuk kedalam dari pertigaan Menara Salemba.
Bukan bangunannya yang hampir mirip gereja pantekosta membikin betah jamaahnya, tapi kedigdayaan para imamnya yang bisa bersenandung seperti di para imam Mekah saat bertarawih 8 kali Fatihah. Ada dua imam utama dengan gaya bacaan yang berbeda, Ustad Ahyar yang tenor dan Ustan Parman yang bariton ketika memimpin salat. Rokaat demi rokaat menjadi sangat sadar jauh dari bayangan-bayangan kesibukan di pikiran. Mungkin terlalu subyektif, tapi salat adalah hubungan privat hamba-tuhan meskipun dilakukan beramai-ramai.
Lain tempat lain pula kesan nikmat. Setelah pindah tempat tinggal, pindah pula masjidnya. Bulan puasa sekarang berganti suasana dengan tarawih 20 rakaat di lingkungan salah satu habib yang ada di Jakarta. Tarawih 20 rakaat sekarang memang kurang nyaman, agak gerah di dalam dan riuh anak-anak berceloteh ramai. Tidak semuanya buruk tentu saja. Suasana khas NU di kampung dulu sepertinya muncul lagi dengan bacaan imamnya yang cepat dan qunut tiap kali masuk tengah bulan. Paling tidak kesan nikmat kerinduan kampung setengah jam dapat dirasakan.
Sebenarnya bukan jenis masjid dan isinya yang harus dipersalahkan, tapi paling tidak ada peran kecil yang tidak bisa dilewatkan. Kualitas dan jumlah pdkt dengan tuhan sekarang terus terjun menurun, jarang bermesraan dengan tuhan ketika fajar, bahkan jatah rutin melalap firman tuhan mulai surut halaman per halaman. Meskipun Nyoman S. Pendit bilang ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci” tapi Kang Togog sudah terlanjur terdogma untuk bisa menamatkan paling tidak setahun dua kali.
Kini setelah lebaran kurang sebelas hari lagi, pencerahan ke jalan tuhan tidak juga kunjung datang. Harusnya jika merujuk para perapal Quran dan Hadis, jalan ke arah ampunan harus lebih dipacu agar tenggat sebulan berpuasa bisa berakhir sempurna. Namun, dengan kondisi kekalahan yang ada, kalah pada hidup dan kalah pada kondisi. Yang tertinggal cuma pertaruhan dan dalam pengertian Deleuze, Kang Togog adalah ”pemain dadu yang buruk”. Masuk gelanggang dengan mengusung teori kemungkinan. Bermimpi sehabis Ramadhan Kang Togog menjadi lebih bertuhan meski tak banyak amalan.
|