Kang Togog otaknya benar-benar dibikin mogok pada satu petang menjelang
Maghrib. Sembari memijit-mijit papan ketik di depannya, urat mukanya
kosong dan tegang. Lembaran spreedsheet berisi angka-angka dengan
banyak nol membujur ke bawah seperti sampai pada prostatnya. Enam digit
angka dengan tanda minus di depannya membuatnya tak lekas bangkit dan
terus mlongo melihat hasil perhitungan tambah kurang penghasilannya
tiap bulan. Keinginannya yang banyak macam tiba-tiba menciut. Kali ini
Kang Togog rontok kepongahannya. Dia tekor.
Masa membujangnya yang dibilang kawan-kawannya cukup lama jam
terbangnya, memberikan kontribusi besar dalam ketidakcermatannya
mengawasi kemana pundi-pundi recehnya pergi. Kang Togog yang dikamar
sempitnya cuma berteman komputer, cukup ceroboh tidak menghitung-hitung
hari depannya. Sebagai bujang normal suatu saat Kang Togog sadar harus
berbini dan tentu saja harus memikirkan sebuah kediaman yang layak buat
membikin anak kelak. Digit minus yang dihitungnya akhirnya membuatnya
melek bahwa ia harus menyiapkan celengan untuk meminang seorang istri
yang akan ikhlas telanjang tiap malam dan menyeduh kopi tiap pagi.
Kesadaran ganjil Kang Togog ini muncul ketika pagi harinya sebuah pesan
pendek memberi kabar bahwa ia baru saja menjadi seorang om. Seorang
keponakan perempuan baru lahir dan akan segera memanggilnya Om Togog,
Om Gog, Om Tok , dan lain-lainnya. Tapi yang jelas, Kang Togog saat ini
buntu dan merasa sangat bermasalah.
Persoalannya cuma satu, Kang Togog tak tahu dari mana celengannya harus
diisi. Kran penghasilannya setelah dipotong pengeluaran rutin tiap
bulan ternyata tidak bersisa, kalaupun ada itupun cuma cukup buat bayar
parkir motor sehabis berlagak kaya di mall.
Kang Togog benar-benar terancam kedaulatan damai berpikirnya.
Otak belakangnya bertambah ruwet. Wujud keponakan yang dijenguknya selepas Isyak sekonyong-konyong nylonong menampar mukanya.
Pok!
"Om Togog...kapan ngasih aku kawan bermain?"
Bayi kecil itu seolah sudah rewel sebelum waktunya. Kang Togog menjadi
tertegun. Tak lama benar Kang Togog membalas sang bayi dengan senyum
pahit bibir hitamnya.
Dilluar kamar klinik bidan, Kang Togog kunyah asap batang kretek hanya
supaya tetap sadar bahwa bayi tadi masih mungil dan mirip bapaknya.
Batin Kang Togog kemudian tertuju pada Niels Mulders ketika menyebut
orang Jawa sebagai kaum seremonial. Kang Togog mulai membayangkan pasti
akan ada ritual-ritual khusus yang akan digelar kawannya selaku seorang
bapak baru merayakan hasil konspirasi bersama istrinya itu. Bukan
bayangan suka cita yang tampak, bagi Kang Togog, seremoni-seremoni itu
adalah pengali baru untuk digit minus yang masih digdaya menotoknya
tadi.
Tapi tampaknya Kang Togog masih untung, tersebab masih punya banyak kawan yang lebih bijak darinya.
Di karpet merah sebuah kamar yang rudin, seorang berpostur sejahtera
dengan sabar berujar kisah perjuangannya membangun sebuah keluarga.
Dengan santunnya kawan itu bertutur bahwa niat baik adalah sebuah
kesempatan yang tak berjalan buntu. Tuhan dikatakannya akan selalu
membantu. Dalam sempitnya waktu, dengan segala penyerahan kepada sang
Tuhan akhirnya masa paling tidak siap dalam siklus hidup sang kawan
berhasil dilewati.
Kang Togog merasa semakin pagan namun tercerahkan.
"Lagi-lagi Tuhan jadi pelarian" sergahnya.
Tuhan memang hebat.
|