Kedai itu disangga dua buah bambu masing-masing setinggi 2 meter kiri kanan. Bekas kain reklame ditarik pada dua sisinya untuk menahan daun-daun Mahoni yang tepat disamping kanannya. Di antara dua tiang bambu sederet bungkusan minuman siap saji tampak bergelantungan. Sebuah pajangan berisi buah dan blender juga tampak disana.
"Kopi yang itu, Bang" " Minum sini?" " Ya"
Aku letakkan bokongku dikursi tanpa sandaran milik penjual mie goreng yang jauh hari sebelum tukang minuman ini muncul, sudah bermonopoli di tempat itu, pas di pinggir jalan depan sebuah masjid.
Malam ini sehabis tanding bola yang penat, sepiring mie goreng dan segelas kopi rasanya cukup untuk meluruh dongkol kebobolan 5 gol petang tadi.
Sebatang kretek kudus kulolos dari saku. Sial! korek ketinggalan.
"Ada korek, Bang?" "Ada, Bos. Abang dari Medan?" "Kok?" " Saya hapal logat orang2 dari daerah" " O, saya memang beberapa bulan pernah di Medan. Tapi saya Jathul, Jawa Tulen." Logat medhok terdengar sejurus kemudian.
Lima belas menit sepiring mie goreng tandas. Waktu yang cukup lama untuk standar orang yang sarapan tiap pagi melanggan di warteg. Sudah kebiasaan ketika bersantap, bara rokok tetap menyala ditangan kiri sementara tangan kanan mengais yang ada dipiring.
" Perasaan kemaren2 kedai abang ini belum nampak?" "Saya baru pindah dari cafe saya di Sarinah. Bukan permanen memang, pake tenda" " Lah, macam mana bisa begitu" " Biasalah, tiba-tiba saja kafe itu dirusak orang tanpa bekas utuh." " Ceritanya?' " Kata kawan kepercayaan saya yang jaga kafe itu bilangnya diobrak-abrik satpol PP, tapi sepertinya bukan, masak satpol PP merobek-robek pake pisau."
" Lanjut, Bang"
" Saya tahu, itu ulah kawan saya yang memang bermasalah dengan salah satu kelompok. Mereka kira cafe itu miliknya" " Gak disuruh ganti?' " Gak lah, sama-sama dulunya orang susah. dulu sebelum cafenya gedhe, ya saya berangkat dari seperti sekarang ini. Pelan-pelan berkembang hingga akhirnya saya bisa dugem tiap akhir pekan,"
Kutenggak gelas sisa-sisa kopi. Tukang minuman didepanku membetulkan kacamatanya.
" Tidak hanya sekali saya jatuh bangun buka usaha seperti ini, setelah 2 tahun sejak kejadian di Sarinah itu, baru kemudian saya jual Hape buat dagang sekarang ini. Kemarin anak-anak sekolah yang singgah protes katanya kemahalan."
Aku harus memasang kernyit dahi mendengar ucapannya.
"Ya memang saya jual empat ribu karena tidak pake gula buatan dan pernak-pernik yang memang sengaja saya tambahkan. Hal yang sama saya lakukan dulu."
"Pantes, kopi abang ini agak aneh kurasa."
'"Dulu saya pake silver queen yang digerus untuk atasan minuman, bahkan saya bisa tambahkan vodka tanpa tercampur dengan lapisan minuman dibawahnya. Pokoknya saya buat semenarik mungkin tanpa menanggalkan rasanya"
"hmmm...hmmm"
"Bahkan kalau pelanggan bilang gak enak, saya tolak uang yang mereka sodorkan."
" Boleh juga tu, Bang"
Seorang perempuan paruh baya datang kemudian memesan. Kopi juga. Diblender dengan es batu.
Hampir 30 menit aku disana sejak datang ke kedai di pojok Salemba itu, Sudah empat pembeli datang termasuk aku. Kuhitung jika abang minuman ini buka kedai sejak pukul 9 pagi hingga 10 malam dengan kondisi seperti malam ini mungkin 352 ribu akan ia kantongi. Tapi sepertinya tidak akan sebanyak yang aku sangkakan.
Jikalaupun benar demikian, tentu saja aku harus mengecutkan nyali. Penghasilanku sebulan jauh mengukur langit dibanding lipatan uang didompetnya.
Tapi bukan itu yang membuatku terngiang-ngiang. Kegigihannya jatuh bangun dari keterpurukan yang tidak diinginkannya kuanggap biasa jika ingin tetap hidup di Jakarta.
Cuma satu umpatan.
Jancuk! Hapeku gak mau motret tukang kedai itu. Batere modar.
|