Sepenggal dialog ditengah perjalanan. Orang normal dengan manusia di atas normal,
" Jaketmu bagus." " Gadisku di Surabaya yang ngasih." " Sepertinya mahal. Rasanya aku tak mampu beli yang seperti itu." " Ya, iyalah. Buat diri sendiri aja kamu pelit. Palagi beli kayak gini." " Anjrot!"
Dialod terhenti sesaat, Kami terkekeh-kekeh.
" Bilang gadismu, aku minta satu." " Ntar, aku sms dulu dia."
Lima puluh langkah menunggu pesan balasan.
" nih baca.."
" Maaf 'Yang, ade baru tiba di kosan. Jaket itu ade kasih buat kado 'Yang. (Bg Teguh suruh cari j di Matahari)." kurang lebih ringkas bunyinya seperti itu.
" Yah.." " Sekarang gadismu sibuk apa?" " Lagi persiapan sidang thesis, Juli nanti" " Buru-buru amat, nyantai dikit napa?" " Biayanya dul, mang murah?!" " Yang biayain?" " Bapaknya." " Knapa bukan kamu, kamu kan suaminya?" " Belum saatnya to.." " Lha kowe wis mrasa bertanggung jawab atas gadismu blum?" " ya sudah sih.." " Sudah jelas!"
" Tapi belum resmi, belum nikah."
" Kowe ki terjebak dalam budaya kebanyakan, nikah tidak harus berdandan aneh seperti badut dan dipajang dikerumunan orang menyantap sajian. Cukup deklarasi gadismu mau menikahkan dirinya dengan kau. dan kau cukup menjawab kesanggupanmu meski mas kawin pun dapat kau cicil belakangan."
" kata siapa?"
" Kata para penulis kitab mahzab"
" Tidak bisa begitu, kita hidup dalam kandang manusia banyak"
" Itulah ketakutanmu, takut tidak bisa diterima dikandang itu. Keyakinan hidup berkandang dengan manusia banyak hanya sebatas aku tidak merugikan mereka dan mereka tidak mencederai aku."
" Tetep tidak bisa begitu, keyakinan orang lain tak bisa disingkirkan, keyakinan itu membangun seperangkat budaya yang mengikat dan ada kesepakatan."
" Kuberikan kau kunci dan kau buka gembok dalam penjara otakmu itu"
"Apalagi?"
" Kandang manusia dibangun dengan komposisi beragam. Semua harus diakui sebagai mana adanya. Kau terlalu jauh menerjemahkan hingga belenggu budaya itu seperti tak dapat kau rubah. Selama kau punya argumen berdasar tak perlu kau turut cara2 mereka. Jangan pula kau bernegosiasi karena sama saja kau masih berkalung lilitan rantai. Resiko kau tidak diakui mereka itu kesalahan budaya yang mereka bangun yang tidak mau ada warna berbeda dalam kotak mereka yang harus seragam. Beranilah untuk tidak seragam agar kita tidak tenggelam."
" Gendheng!"
"Emang"
Pintu Lift terbuka. Kami terkekeh bebas didalamnya.
" Jadi kapan kau nikahi gadismu"
"Entar, kalau aku sudah siap."
" Goblok!"
|