Perdebatan antara saya dengan seorang teman bermula ketika dia menimpali dengan bersemangat 'Jika kita niat, pasti menang perang melawan Malaysia." Saya cuma menarik ujung bibir saya, sedikit.
'Jaman dulu Mas, kita menang perang lawan Belanda hanya dengan bambu runcing, itu semua terjadi karena ada niat dan keyakinan menang.' "Menang?!" celetuk saya." Pak, kita tidak pernah menang perang lawan Belanda" "Tapi liat dulu Mas, jaman kakek saya dulu, bisa merebut senapan tentara Belanda". "Kalau yang dimaksud seperti itu, artinya kita menang pertempuran Pak, soalnya kalau perang, definisinya adalah total war, kumpulan dari berbagai pertempuran, dan kita tidak pernah menang perang melawan penjajah Belanda, karena yang mengalahkannya Jepang." " Terlepas dari itu mas, Allah pasti memberikan jalan seperti ketika saya dulu mampu hidup meski gaji seperti dikebiri."
Topik rupanya sudah tidak satu jalur. Sekali lagi saya tarik senyum saya, sedikit.
Dimulailah debat tanpa pangkal ujung ini.
Sebuah pernyataan yang kurang saya senangi tentang apa yang ia lontarkan adalah sudut pandangnya yang diambil dengan pendekatan agama yang menurut saya hanya akan mematikan rasio dan logika berpikir karena tidak memberikan ruang kritik.
"Takdir yang menentukan Mas, apakah nanti kita menang apa kalah dengan Malaysia." Tambahnya. Sebuah ungkapan pasrah tanpa perlawanan benak saya bilang. Dan untuk sekian kalinya beliau menyambung dengan susut pandang Islam-nya.
Dialog kemudian berpindah ke masalah agama tentang akidah dan sejarah Islam. Saya dicap Musyrik karena ungkapan bahwa setiap agama punya Tuhannya masing-masing. Dia bersikukuh bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan menganggap Islam adalah yang paling benar dan sempurna sebagai mana terfirman dalam Al Quran.
"Maaf, Pak. Jika kita memandang masalah terutama keyakinan yang sifatnya sangat personal kita tidak bisa menggunakan kaca mata Islam saja. Saya Muslim, tapi saya akui bahwa Islam dalam sejarah manusia global tercatat sebagai Agama termuda dibanding Yahudi dan Nasrani."
"Tidak bisa begitu Mas, Islam telah ada sejak Adam diciptakan dan kemudian disempurnakan generasi berikutnya" " Sekali lagi kita harus pakai standar universal yang dapat diterima semua umat, Pak.Tidak hanya Alquran." " Saya percaya bahwa Alquran masih yang paling benar" "Tapi tidak bagi umat lain, Pak. Keyakinan mereka tidak bisa dipinggirkan begitu saja, karena justru penentangan mereka menjadi bukti kebesaran Allah, bahwa memang manusia diciptakan dengan akal sehingga apa yang dia yakini tidak buta semata."
Sekali lagi saya dicap Musyrik.
"Jaman Kanjeng Rasul dulu, ketika awal sejarah Islam, juga banyak orang bebal seperti Mas ini, dengan kesombongan rasionya." "Berbicara dakwah Nabi dulu, menurut saya memang Allah menciptakan situasi demikian itu. Percuma dong Allah mengutus para Rasulnya dengan segala mukjizatnya jika begitu saja mereka menerima apa yang disampaikan."
Dia kemudian beralih ke topik pengalaman spiritual setelah sebelumnya berpanjang-panjang menceritakan metode dakwah tidak hanya tindakan dan menantang hafalan hadis saya tentang dakwah.
Minat saya menyimak Bapak satu ini hingga hampir 1 jam berceloteh, adalah kegigihannya terhadap keyakinan yang menurut pendapat "Musyrik" saya, akan membawa kita ke jaman Dark Age. Agama sesungguhnya adalah pengejawantahan kebuntuan manusia. Agama menjadi pelampiasan untuk bersandar dari ketidakberdayaan yang sifatnya sangat relatif. Untuk itulah mengapa saya memeluk Islam, bukan Yahudi, Nasrani, Budha, atau Hindu. Islam bagi saya memberikan jawaban dan memenuhi sisi tergelap yang saya alami dan rasakan. Bagi pemeluk agama lain mungkin tidak berlaku seperti itu karena sekali lagi sangat subjketif.
Dengan suara yang agak tinggi sang bapak menolak mentah-mentah. Islam diciptakan bagi seluruh umat manusia dan sekali lagi menjadi yang paling sempurna. Permisalan yang dia ajukan adalah pengalaman spiritual pribadinya tentang klaim malam lailatul qadar yang menakjubkan dan rangkaian ibadah haji yang membuat dia bisa berbicara bahasa inggris mendadak ketika diprotes orang Syiah Iran didepan Ka'bah.
Bosan dan capek meluruskan ke satu topik pembicaraan membuat saya dengan terpaksa undur diri. Cap Musyrik yang barusan saya peroleh, saya hembuskan jauh-jauh bersama kepulan asap sebatang kretek yang terasa begitu nikmat di tengah dinginya ruangan ber-AC 5 biji. (*)
|