Home | Registration | Login | RSSSetu, 20/04/2024, 12:11

Teguh Hardi Murtad Fotografi

Menu Saji
Kemurtadan
Waton Njeplak [44]
Nyelathu Umuk Goblog Keblinger
Sajak Njeplak [17]
Login form
Login:
Password:
Main » Entries archive
malu
gambar: berandasuluk.blogsome.com

Rekor baru aksi guling-gulingan di jalan umum ditorehkan. Ya, saya sendiri yang melakukan dengan tunggangan motor yang belum lunas. Tidak kurang dari sepuluh menit seorang pengendara motor dan Mikrolet M01 dengan sukses saya tubruk di belakang. Pada pagi yang ngantuk hari ini.

Rem belakang sialan sepertinya berhak saya maki. Kutu kupret betul memang, ketika dibutuhkan diam-diam malah berkhianat tak mau berkompromi setelah diinjak-injak berulang kali. Satu liukan yang cuma mangandalkan cakram depan akhirnya jadi petaka. Badan limbung ke kiri, mak gubrak, guling-guling menganvas aspal. Tan-tin-ton klakson mobil di deret belakang sahut menyahut, untung saja masih toleran tidak langsung melindas.

Pengendara motor yang saya tubruk malah terlihat cemas meski tetap nangkring di joknya.

"Wis mas, gak papa saya cuma diving kok". Langsung tancep gas sambil mringis-mringis.

Lima puluh meter prapatan Matraman di depan harus dikejar biar lampu merah tidak terasa menyebalkan. Berhasil.

Selepas prapatan macet ini memang menuntut keterampilan berkendara dan kemampuan rem yang prima. Bayang-bayang angkot yang berbelok dengan sempurna dalam sepersekian detik dapat mengancam siapa saja. Tidak terkecuali jatah sial kedua saya.

Lagi-lagi setang yang saya pegang berkelok liar, mak gedabruk, bemper Mikrolet dan ban depan gundul berciuman secara tidak mesra. Terpaksa saya harus mengulang adegan berguling seperti sepuluh menit yang lalu.

Agar tak malu jadi seleb dadakan sesegera mungkin saya harus terbirit enyah dari tempat itu.

Sesampai di Kampung Melayu yang lebih ganas dan mulai agak panas terpaksa pelan-pelan harus melipir di pinggir agar selamat sampai di tempat yang dituju.

Malu campur bawur sebah senep karena dua akrobat tadi harus dicari kambing hitamnya agar tidak di perolok kalau ketahuan rekan sejawat. Fesbuk keliatannya layak.

'Gara-gara semalaman ber-fesbukan, akibatnya dahsyat lho...bisa jadi atlet sekaligus artis mendadak, walau harus meringis-meringis'

Sate kambing hitam bumbu gengsi memang klop.

Malu kok cari kambing hitam!
Category: Waton Njeplak | Diserat: 02/07/2009 | Caci Maki (0)

BLT
foto: 4.bp.blogspot.com

Seorang punggawa LSM pembela konsumen mendadak gusar dengan BLT yang dibagi-bagi selama ini.

Tidak merokok harus menjadi salah satu syarat penerima dana bantuan langsung tunai (BLT) supaya pelaksanaan program pemerintah itu tepat sasaran. Demikian lantangnya kata-kata ini hingga menohok paru-paru coklat kekuningan para kaum miskin.

Belum puas menghujat orang-orang miskin perokok, priyayi itu berseloroh, "Sebab bagaimana mungkin rokok yang tidak bermanfaat dan memberikan efek negatif malah menjadi prioritas tertinggi di masyarakat miskin,"

Mampus!

Sodoran angka-angka bisu dipampang, sekitar 50 persen dana BLT itu digunakan masyarakat untuk membeli rokok. Penerima BLT ada sekitar 19 juta rumah tangga sasaran (RTS), sementara dua pertiga rumah tangga miskin di Indonesia adalah perokok aktif. Dari analisis tersebut, ternyata 50 persen dari 19 juta RTS itu, dana BLT dialokasikan untuk membeli rokok.

Para miskin pemuja kretek diam, melongo mendengarkan ceramah, "Kondisi itu jauh dari pemanfaatan yang diarahkan pemerintah untuk dana BLT itu sebab ketika RTS mengalokasikan untuk rokok, berarti menggeser kepentingan pendidikan dan kesehatan."

Memang pintar benar orang kaya ini berujar.

Menurut dia, kalau dalam konteks pengendalian tembakau, untuk mengentaskan kemiskinan tersebut bukan melalui program BLT, tetapi bagaimana pemerintah memutus mata rantai ketergantungan warga miskin terhadap tembakau, seperti menaikkan cukai rokok.  Semakin sedih kami para kaum klepas klepus mendengar ancaman ini.

Orang miskin juga berhak membela.

Beri satu jeda agar kami, kaum miskin perokok menyampaikan pledoi kepada saudara2 yang kaya, pintar dan tidak merokok .

Kami tidak pernah mengusik pekerjaan dan status tuan-tuan sekalian. Sudah cukup sibuk dan kewalahan kami menjadi babu-babu kemelaratan. Kretek harga lima keping gopek sudah cukup untuk melupakan sejenak jerit lapar anak bini.

Saat lembaran merah dari pemerintah dibagikan, jerit-jerit lapar itu sebentar tertahan, jika uang yang banyak itu disita, apakah tuan yang kaya, pintar dan tidak merokok mau menggantinya?

Kami memang miskin, tapi tidak rakus.

Saya tidak sepintar para tuan mengadu debat mencari kesalahan yang bukan porsi kami.

Tuan-tuan cukup menjadi miskin untuk bisa paham.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 01/07/2009 | Caci Maki (1)

hidup

Pada dialog pertama dengan Tuhan, merayukah kita agar dilahirkan?
Apakah titah Tuhan terngiang dan berputar-putar dibenak ketika kita mulai berkehidupan?

Tidak bukan?

Sejak kepala merobek selangkangan, kita mulai melek dalam ketidaktahuan
Tuding telunjuk dan ngoceh orang-orang,
apakah bisa dianggap kebenaran?

Tidak bukan?

Hidup adalah kesalahan yang ditakdirkan
Tak perlu perbaikan untuk dibenarkan
Jalan ke arah itu hanya cukup menambah sesat di tengah gelap.

Setuju bukan?


Tuhan adalah sumber masalah yang harus ditelusur sampai jasad kaku terbujur.

Category: Sajak Njeplak | Diserat: 30/06/2009 | Caci Maki (0)

gayeng

"benar fajar hanya seberkas cahaya yg awalny sdkt terang mjd terang bnderang..benar senja hanya semburat cahaya merah yg indah lalu perlahan gelap gulita.. benar hujan seringkali membawa hawa dingin,kebasahan,dan rasa khawatir..benar warna pelangi itu jujur,indah,sejenak lalu pergi..dan benar pula,udara selalu ada,selalu menyelamatkan,memberi ruang,menjaga,trkdg trkotori tp sejatinya bersih..."

Lambankan sang fajar berkelindan,
Tambat senja berhenti berkelana,
Tanting hujan menggilas cemas,
Palu pelangi berlari,
Cuci suci hawa terkotori,
Sijengkat maju satu-satu tanpa muka semu.

sejenak mengular keluar,
menunggu malam meski tak lama benar,
mengintip jentera langit berkelip,
menguping jangkrik berderik,
menepi sepi.

malam gelap,
malam senyap,
gelap cahaya senyap suara,
membungkus runyam sedari fajar hingga senja.

Iseng memang gayeng...!


Category: Sajak Njeplak | Diserat: 28/06/2009 | Caci Maki (1)

waktu

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu.  Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.

(Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas dalam Kumpulan Sajak,1982)


Kakang Sapardi,
Kakang keliru. Begitu keliru.
Aku telah lama tak memulung detik itu satu-satu.
Ku untal semua, di mana pun ada.
Tak bersisa, Kakang.

Aku menjadi sangat abadi,
Waktu telah membangunkan aku sebuah rumah.
Rumah yang tak lagi mepet sawah.

Maaf, Kakang.
Ular-ular yang kau titipkan kulacurkan,
Kepada para tuan di setiap kelokan.
Kepada perut yang menuntut dijejal.
Kepada kelamin agar tak lekas majal.

Kakang ngendikan begitu, mungkin waktu belum pernah menggurat kejam ketika lalu.
Tak perlu Kakang bermurah maaf jika aku lebih keliru.
Karena aku memang tak lagi berbudi,
dan sudah begitu lacur.
Category: Sajak Njeplak | Diserat: 27/06/2009 | Caci Maki (0)



Dia melantun ayat itu kembali. Tak berdaya bibirnya dan begitu sulit mengeja satu demi satu guratan firmanNya. Dada berdetak sebegitu kencang sampai tak kuasa air matanya jatuh di lembaran suci yang tipis.

Tersadar dia telah meninggalkanNya di sepanjang gulana yang memasung. Satu, dua, tiga.. dia ingat sebegitu kuasa diriNya menyentuh hingga keluh serasa tak berujung. Keluh yang membangunkannya di keheningan malam-malam kusam. Dia tutup dan sudahi kesah, tersadar bahwa ”Mukjizat” itu nyata..

Dia harap bercermin kepadaNya. Tapi tak bisa hilangkan belenggu ragu pada dirinya..

"Sudahlah..." Dayang Sumbi membatin perih.

Jejaka Sangkuriang membisik pelan, sedikit sesak tertahan;

" Dayangku, barangkali kau lupa satu serpih yang tak bisa tersisih,
Serpih di mana Dia tidak pernah meninggalkanmu,
Tetap di urat nadi meski kau sangka telah merehatnya. "

" Dia tetap welas asih. Dia tidak timpang dalam menimbang. "

" Dia hanya mencinta dengan cara berbeda di setiap hamba."

Category: Sajak Njeplak | Diserat: 26/06/2009 | Caci Maki (1)

topantambunan.blogspot.com

Postingan di fesbuk, cukup membikin gusar untuk tidak dipikir.

" fajar,senja,hujan,dan pelangi..mereka tk pernah abadi..mereka datang disaat-saat tertentu...fajar,senja,hujan,dan pelangi mereka memang hanya sementara..tapi sadarkah qt kalau keindahan mereka abadi..tersimpan di setiap hati para penikmatny... lalu apakah kehadiranmu seperti mereka? "

ditimpuk komen cemen.

" Lebih. lebih memanyar dari sang fajar,
tak sekedar merona nakal seperti senja,
dalam menghujam dari tetes hujan.
dan tak buru-buru pergi seperti yang kau sebut pelangi itu.
"

Iseng kadang perlu untuk membunuh waktu.
Category: Sajak Njeplak | Diserat: 26/06/2009 | Caci Maki (0)

Kedai itu disangga dua buah bambu masing-masing setinggi 2 meter kiri kanan. Bekas kain reklame ditarik pada dua sisinya untuk menahan daun-daun Mahoni yang tepat disamping kanannya. Di antara dua tiang bambu sederet bungkusan minuman siap saji tampak bergelantungan. Sebuah pajangan berisi buah dan blender juga tampak disana.

"Kopi yang itu, Bang"
" Minum sini?"
" Ya"

Aku letakkan bokongku dikursi tanpa sandaran milik penjual mie goreng yang jauh hari sebelum tukang minuman ini muncul, sudah bermonopoli di tempat itu, pas di pinggir jalan depan sebuah masjid.

Malam ini sehabis tanding bola yang penat, sepiring mie goreng dan segelas kopi rasanya cukup untuk meluruh dongkol kebobolan 5 gol petang tadi.

Sebatang kretek kudus kulolos dari saku. Sial! korek ketinggalan.

"Ada korek, Bang?"
"Ada, Bos. Abang dari Medan?"
"Kok?"
" Saya hapal logat orang2 dari daerah"
" O, saya memang beberapa bulan pernah di Medan. Tapi saya Jathul, Jawa Tulen." Logat medhok terdengar sejurus kemudian.

Lima belas menit sepiring mie goreng tandas. Waktu yang cukup lama untuk standar orang yang sarapan tiap pagi melanggan di warteg. Sudah kebiasaan ketika bersantap, bara rokok tetap menyala ditangan kiri sementara tangan kanan mengais yang ada dipiring.

" Perasaan kemaren2 kedai abang ini belum nampak?"
"Saya baru pindah dari cafe saya di Sarinah. Bukan permanen memang, pake tenda"
" Lah, macam mana bisa begitu"
" Biasalah, tiba-tiba saja kafe itu dirusak orang tanpa bekas utuh."
" Ceritanya?'
" Kata kawan kepercayaan saya yang jaga kafe itu bilangnya diobrak-abrik satpol PP, tapi sepertinya bukan, masak satpol PP merobek-robek pake pisau."

" Lanjut, Bang"

" Saya tahu, itu ulah kawan saya yang memang bermasalah dengan salah satu kelompok. Mereka kira cafe itu miliknya"
" Gak disuruh ganti?'
" Gak lah, sama-sama dulunya orang susah. dulu sebelum cafenya gedhe, ya saya berangkat dari seperti sekarang ini. Pelan-pelan berkembang hingga akhirnya saya bisa dugem tiap akhir pekan,"

Kutenggak gelas sisa-sisa kopi. Tukang minuman didepanku membetulkan kacamatanya.

" Tidak hanya sekali saya jatuh bangun buka usaha seperti ini, setelah 2 tahun sejak kejadian di Sarinah itu, baru kemudian saya jual Hape buat dagang sekarang ini. Kemarin anak-anak sekolah yang singgah protes katanya kemahalan."

Aku harus memasang kernyit dahi mendengar ucapannya.

"Ya memang saya jual empat ribu karena tidak pake gula buatan dan pernak-pernik yang memang sengaja saya tambahkan. Hal yang sama saya lakukan dulu."

"Pantes, kopi abang ini agak aneh kurasa."

'"Dulu saya pake silver queen yang digerus untuk atasan minuman, bahkan saya bisa tambahkan vodka tanpa tercampur dengan lapisan minuman dibawahnya. Pokoknya saya buat semenarik mungkin tanpa menanggalkan rasanya"

"hmmm...hmmm"

"Bahkan kalau pelanggan bilang gak enak, saya tolak uang yang mereka sodorkan."

" Boleh juga tu, Bang"

Seorang perempuan paruh baya datang kemudian memesan. Kopi juga. Diblender dengan es batu.

Hampir 30 menit aku disana sejak datang ke kedai di pojok Salemba itu, Sudah empat pembeli datang termasuk aku. Kuhitung jika abang minuman ini buka kedai sejak pukul 9 pagi hingga 10 malam dengan kondisi  seperti malam ini  mungkin 352 ribu akan ia kantongi. Tapi sepertinya tidak akan sebanyak yang aku sangkakan.

Jikalaupun benar demikian, tentu saja aku harus mengecutkan nyali. Penghasilanku sebulan jauh mengukur langit dibanding lipatan uang didompetnya.

Tapi bukan itu yang membuatku terngiang-ngiang. Kegigihannya  jatuh bangun dari keterpurukan yang tidak diinginkannya kuanggap biasa jika ingin tetap hidup di Jakarta.

Cuma satu umpatan.

Jancuk! Hapeku gak mau motret tukang kedai itu. Batere modar.






 

Category: Waton Njeplak | Diserat: 24/06/2009 | Caci Maki (0)

Sepenggal dialog ditengah perjalanan. Orang normal dengan manusia di atas normal,

" Jaketmu bagus."
" Gadisku di Surabaya yang ngasih."
" Sepertinya mahal. Rasanya aku tak mampu beli yang seperti itu."
" Ya, iyalah. Buat diri sendiri aja kamu pelit. Palagi beli kayak gini."
" Anjrot!"

Dialod terhenti sesaat, Kami terkekeh-kekeh.

" Bilang gadismu, aku minta satu."
" Ntar, aku sms dulu dia."

Lima puluh langkah menunggu pesan balasan.

" nih baca.."

" Maaf 'Yang, ade baru tiba di kosan. Jaket itu ade kasih buat kado 'Yang. (Bg Teguh suruh cari j di Matahari)." kurang lebih ringkas bunyinya seperti itu.

" Yah.."
" Sekarang gadismu sibuk apa?"
" Lagi persiapan sidang thesis, Juli nanti"
" Buru-buru amat, nyantai dikit napa?"
" Biayanya dul, mang murah?!"
" Yang biayain?"
" Bapaknya."
" Knapa bukan kamu, kamu kan suaminya?"
" Belum saatnya to.."
" Lha kowe wis mrasa bertanggung jawab atas gadismu blum?"
" ya sudah sih.."
" Sudah jelas!"

" Tapi belum resmi, belum nikah."

" Kowe ki terjebak dalam budaya kebanyakan, nikah tidak harus berdandan aneh seperti badut dan dipajang dikerumunan orang menyantap sajian. Cukup deklarasi gadismu mau menikahkan dirinya dengan kau. dan kau cukup menjawab kesanggupanmu meski mas kawin pun dapat kau cicil belakangan."

" kata siapa?"

" Kata para penulis kitab mahzab"

" Tidak bisa begitu, kita hidup dalam kandang manusia banyak"

" Itulah ketakutanmu, takut tidak bisa diterima dikandang itu. Keyakinan hidup berkandang dengan manusia banyak hanya sebatas aku tidak merugikan mereka dan mereka tidak mencederai aku."

" Tetep tidak bisa begitu, keyakinan orang lain tak bisa disingkirkan, keyakinan itu membangun seperangkat budaya yang mengikat dan ada kesepakatan."

" Kuberikan kau kunci dan kau buka gembok dalam penjara otakmu itu"

"Apalagi?"

" Kandang manusia dibangun dengan komposisi beragam. Semua harus diakui sebagai mana adanya. Kau terlalu jauh menerjemahkan hingga belenggu budaya itu seperti tak dapat kau rubah. Selama kau punya argumen berdasar tak perlu kau turut cara2 mereka. Jangan pula kau bernegosiasi karena sama saja kau masih berkalung lilitan rantai. Resiko kau tidak diakui mereka itu kesalahan budaya yang mereka bangun yang tidak mau ada warna berbeda dalam kotak mereka yang harus seragam. Beranilah untuk tidak seragam agar kita tidak tenggelam."

" Gendheng!"

"Emang"

Pintu Lift terbuka. Kami terkekeh bebas didalamnya.

" Jadi kapan kau nikahi gadismu"

"Entar, kalau aku sudah siap."

" Goblok!"
Category: Waton Njeplak | Diserat: 22/06/2009 | Caci Maki (1)

Sebuah pipa bergurat kau serahkan padaku. Bukan wujudnya yang lentik, bukan dayanya yang menghancur paru-paruku, bukan pula lembaran ribuan yang kau habiskan untuk membelinya hingga benda mungil itu meminggirkan jimat-jimatku yang lain. Sesungging senyum di tengah rentetan kelu kesusahan, sebuah pengorbanan untuk menarik sudut bibirmu itulah sebab musabab aku akan terus menjaga pipa itu sampai aku lahir kembali.

Pipa itu memang tidak cantik, tapi menarik. Ketertarikanku pada pipa itu sebagaimana halnya aku mengagumi keindahan ganjil pada dirimu. Keganjilan bertubi-tubi yang hanya aku yang bisa menyelaminya jauh kedalam. Tanpa jengah kuakui aku tersungkur di depanmu, kali pertama selama bentangan umur sebelumnya.

Bukan rumusan Robert J Sternberg dalam The Triangle of Love-nya, kekagumanku lebih dari sekedar Consummate Love. Kegilaan Sangkuriang memimpikan Dayang Sumbi pun tak sepadan dengan logika miring yang kini aku jalani sekarang. Jawabnya sebenarnya sederhana, bahwa Dayang Sumbi tidak ditakdirkan seperti kau membingkiskan sebuah pipa untuk kuhirup ketika jepit rambutmumu tak bisa kurengkuh.

Bukan sebuah roman picisan ku tulis sekarang, tak pula bermaksud mengatasi kedahsyatan Rubaiyat Omar Khayyam, aku cuma berdalih kalah ketika seorang laki-laki memang harus pernah tergila-gila pada wanita. Dan saat baris ini muncul satu-satu kegilaanku belum juga menemui jalan buntu.

Mungkin suatu saat.

Saat dimana aku hidup lagi. Hidup dalam alam yang hanya jiwa berkuasa. Saat tidak ada jalan buntu karena memang aku dan kau tidak perlu lagi menapak tanah. Tapi jalan buntu itu pun tentu saja akan berbeda, karena kebuntuan yang menunggu didepan adalah aku dan juga kau tidak bisa lagi dipisahkan.

ya! tak bisa dipisah layaknya sebuah kretek dan pipa yang kau berikan.



Category: Waton Njeplak | Diserat: 21/06/2009 | Caci Maki (0)

« 1 2 3 4 5 6 »

Bendera Bunderan HI

Tag Board

Blog buat murtad motret
,