Baginya buku adalah sumber pengetahuan yang sebenarnya. Buku merupakan rujukan terkemuka ketika harus membuat tulisan. Saking cinta dan tergila-gilanya, buku menjadi semacam tuhan dalam hidupnya. Ketika harus ngobrol meninggalkan baca buku, kalimat-kalimat yang diomongkan juga tak jauh-jauh dari buku, buku dalam arti harfiahnya. Dia tidak mengenal eBook terlebih Blog.
Cukup tertohok di benak ketika mata tajam dan kumis tipisnya bergerak mewanti-wanti agar aku yang tepat disampingnya untuk berhati-hati dengan internet. Dunia maya dalam otak dia yang dibungkus jidad selebar lapangan tenis adalah celaka tersebab menyimpan banyak dusta. Hebatnya, dia akan mencibir setiap tulisan ilmiah yang di halaman-halamanya tercantum catatan kaki berawalan http://, tidak terkecuali disertasi program doktoral. Perilaku manja dia tuduhkan untuk pencomot tulisan di laman-laman maya itu.
Bagi budak-budak internet seperti aku tentu harus nungging dulu untuk menerima logika berbeda dia. Entah pengalaman masa lampaunya yang kelewat payah atau memang trauma dengan kedigdayaan internet, aku tak tahu sehingga dia mengambil mahzab seperti itu. Yang aku tahu bahwa dia dengan sabar menanti menyandang gelar Drs. selama 13 tahun. Cukup lama waktu untuk sebuah gelar yang sekarang bisa dibeli dengan lembaran-lembaran seratus ribuan.
Dia memang pesimis terhadap uang dan harta, dengan ringannya bibirnya yang terkesan kejam akan miring ke atas sedikit ketika menyinggung para tuan dengan mobil dan berumah gedong nampang di tiap tempat. "Coba kau tanya, berapa buah buku yang mereka beli setiap bulannya?" begitu dia mengejek tuan-tuan yang kaya.
Mungkin itu deklarasi pembenaran akan kasmarannya terhadap buku, dan mungkin juga kekecewaan yang laten sepanjang karirnya disingkirkan dari hingar bingar kelicikan dan nafsu di kantor lamanya. Tak tahulah aku.
Tentang kisah asmaranya dengan buku, ia begitu lelah menyesal melihat anak didiknya di sebuah perguruan tinggi dengan gampangnya membuat sebuah paper dan makalah dengan memlagiat dari internet. Anak zaman sekarang dibilangnya sudah malas untuk membaca dan menyalin. Teknologi rupanya memberikan bentuk kecerdasan baru tanpa harus berpeluh panas di loak-loak buku-buku bekas. Namun dibalik kemudahannya justru melahirkan plagiator-plagiator handal dari mulai pekerja kantor hingga doktor.
Gejala-gejala ini dengan gamblang ia tuturkan melalui sebuah kontemplasi dari Pater Dick Hartoko tentang Anak Zaman yang pernah dibeberkan di Majalah Basis beberapa waktu silam. Kondisi mental yang terus terdegradasi oleh arus zaman membikin polah melahirkan generasi yang malas dari hari ke hari. Dia menuding globalisasi sebagai penyebabnya.
" Pernah dengar adagium Small is Beautiful?" Pancingnya. " Sering, orang-orang semeter kotor bangga dengan itu." " Tahu siapa pencetusnya?" " Embuh..."
Rentetan petuah selanjutnya dapat ditebak. Uraian tentang ketidaksetujuan E. F. Schumacher terhadap globalisasi yang menelorkan krisis energi tahun 1973 tergamblang jelas seperti aku membaca Small Is Beautiful: Economics As If People Mattered tulisan karib John Maynard Keynes dan John Kenneth Galbraith itu.
Satu setengah jam sudah sejak kedatanganku menghadap seperti saat sat setahun yang lalu. Kesan yang sama dan sikap duduk serupa masih belum berubah kulakukan ketika menelusuri setiap mimiknya. Setidaknya sekarang aku agak sedikit bengal membantah dan menyanggah. Pertanyaan yang mungkin akan membuatnya mengejek dan tersenyum kaku.
"Dimana bisa kutemukan kisah Dick Hartoko?". "Kemana aku bisa pinjam itu Small is Beautiful?.
Dia terdiam. "Coba kau buka dulu internet, di situ mungkin ada"
Hey, humble boy just a fool who’s willing to sit around and wait for you with his blanket on the right and lemonade on his left,
where is the honey? pity, seem to be missed but, he dont. honey is his presence the presence which divined by his absence
there’s nothin’ else for him to do he's hopelessly devoted to you in his every single day bring you a blanket, bring you lemonade.
She said, 'It's enough for a fragile rose,just be her thorn.." "Is that you, the humble boy?"
He just poor boy playing his joy with cigarette lips preys his lungs decrease
"It should be more life, try to self release..."
no more cigarettes seem to be dead Yet, there is a land where the damn twelve nico i can forget A Peaceful place i've met
it just seems to be dead not really dead, i trust u. u can forget the damn twelve devils just remember always the rose it will lead u to the peaceful way just like the land you've met
A burgeon rose he got the more credo not letting go believe in hope of missing place trusting to the rose keeping the way peace slowly decrease the dead pose
berlaku seperti lebah memulung nektar di sepanjang musim menunggang gemuk awan berguling manapak angin melolos sukma kabur pelan mengawan di atas horizon
kemudian rebah menyetubuhi tanah menelanjangi bumi menari binal menerobos salihara mengendus tanpa batas
berayun di kaki langit terlontar jauh bahagia semanyar jatuhnya semburat matahari ketika pagi
membumbung terbang selayaknya burung menikmati luasnya ruang, berputar, menukik, berselancar di udara.. Mendarat menyentuh harumnya pelangi, menyeruak lincah.. bahagia semarun hari..
Kembali sayatan ngilu lekas membekas di urat-urat pilu jasad yang menghampa sebelumnya semakin bebal beku serupa keras batu Begitu berat melangkah setapak, begitu lapuk ditindih beban yang singgah tak sejenak.
Sementara durjana-durjana mengitar riuh bersorak-sorak. Kidung kematian seolah mendengung. Bertalun-talun tegak di simpang linglung.
Dari sudut gelap, liang empat hasta terbujur menganga, jasad jiwa diboyong berdiri di dekat di bibirnya, begitu dekat.
Batara-batara tampaknya sedang tak happy, dengan begitu sinisnya melempar opsi-opsi.
'memeluk sendiri pekat dalam gelap liang di depan'
ataukah
'harus dikirim dengung-dengung busuk para durjana untuk mendorongnya'
Jika saja ada pilihan ketiga, meski tentu saja masih percuma.
Jiwa, sudah terlalu hampa untuk memilih sudah terlalu beku untuk tak memilih.