Home | Registration | Login | RSSSetu, 20/04/2024, 01:36

Teguh Hardi Murtad Fotografi

Menu Saji
Kemurtadan
Waton Njeplak [44]
Nyelathu Umuk Goblog Keblinger
Sajak Njeplak [17]
Login form
Login:
Password:
Main » Entries archive
Idul Fitri dalam tradisi orang Temanggung, Jawa Tengah disebut Bodo (o dilafalkan seperti pada 'sodok'). Layaknya di setiap daerah yang menyimpan tradisi uniknya saat Idul Fitri, di Temanggung pun tiap kali Bodo, digelar tradisi unik yang dilakukan selepas sholat Id terutama di pelosok-pelosok dusun. Mereka menyebutnya tradisi itu Pamungan.

Di sebuah dusun kecil, Mluweh yang berada dalam wilayah administrasi Kec. Kandangan, Pamungan dilakukan warganya dengan berbondong-bondongn menyunggi tampah berisi nasi, lauk, sayur dan kerupuk yang dijajar di pelataran rumah Bayan (kepala dusun). Mereka berangkat dari rumah setelah Bayan menabuh kentongan sebagai Pamungan akan segera dimulai. Pada tabuhan pertama, warga diingatkan untuk bersiap, dan tabuhan kedua warga mulai berangkat sembari menyambangi tetangga-tetangga sebelahnya.

Sesampainya di rumah Bayan sembari menunggu yang lain, celoteh dan obrolan khas 'ndeso' riuh terdengar. Memang tak sepenuhnya seluruh warga dari dusun empat RT itu datang Pamungan. Namun jumlahnya dapat dihitung, dan biasanya hanya warga-warga kaya di dusun itu.

Tak berselang lama, Kaum (tokoh agama) akan memberikan sambutan singkat dilanjutkan mengucap doa. Warga segera membuka penutup tampah agar piring-piring makanan mereka terjamah berkah doa yang dilantun. Meski sajian terlihat apa adanya, tapi terlihat sedap karena disantap bersama selepas doa.

Dusun Mluweh memang tak akrab dengan gemuruh opor ayam dan ketupat saat Bodo. Mungkin ini yang menjadi salah satu keunikannya. Bahkan di pelataran Bayan itu, agak ganjil jika membawa makanan yang berkuah seperti opor. Ketupat pun dianggap bukan makanan sakral karena statusnya hanya sebagai barang dagangan bagi penjual Kupat Tahu. salah seorang warga bertutur, Simbah Kyai Wulung, pendiri Dusun Mluweh, memang tidak mengenalkan tradisi ketupat dan opor ayam pada perayaan setelah 30 hari puasa itu. Terutama sekali pada Pamungan yang seperti festival makanan tanpa kategori dan trofi.

Pamungan digelar warga sebagai bentuk syukur tamat menjalankan puasa dan anugrah Gusti Allah bisa menikmati Bodo tahun ini. Kata Pamungan sendiri mempunyai arti makan secara bersama sama di tempat tetua dusun yang menjadi Pamong. Bayan bagi warga Mluweh adalah Pamong yang bertindak sebagai pemimpin dan pengasuh dalam kehidupan sehari-harinya.

Tidak hanya Bodo yang diwarnai Pamungan. Momen seperti Syawalan di hari ketujuh Bodo juga di-ritual-i Pamungan.Nyadran (bersih desa dan ziarah) menjelang puasa juga sama, bahkan perayaannya tampak lebih meriah dengan gelaran acara tari Kuda Lumping ataupun pementasan Ketoprak. Pamungan bagi warga Mluweh tidak hanya bermakna seremoni makan-makan. Lebih jauh bagi mereka, tradisi itu telah turun temurun dari generasi moyang Simbah Kyai Wulung sampai generasi sekarang.Sebuah bentuk penghargaan budaya terhadap leluhur yang babat alas mendirikan dusun mereka.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 20/10/2009 | Caci Maki (0)

Tentang seputar kelamin itu kini jadi barang publik

Ada fenomena menarik dalam buana keindonesiaan kita belakangan ini. Masalah seputar nafsu primitif manusia kini menjadi konsumsi publik yang dapat disimak dengan mudah dan murah. Kemudahan akses ini ujung-ujungnya merubah kelasnya yang elit tabu menjadi tontonan menghibur bagi siapa saja. Kata elit di sini merujuk pada budaya ketimuran yang mengharuskan pelakunya berada dalam lembaga pernikahan dan tabu karena terkait seputar urusan kelamin. Kemajuan teknologi tampaknya berperan besar sehingga masyarakat bisa dengan gampang mengakses barang tabu tersebut, meskipun tak layak jadi kambing hitam. Dipicu penampikan kedatangan artis jepang Miyabi dan publikasi dakwaan cabul oleh jaksa dalam kasus dengan terdakwa mantan Ketua KPK Antasasri Azhar, isu tentang percabulan menjadi semakin populer di kalangan orang ramai setelah era goyang dangdut erotis, video mesum para anggota dewan, dan kelakuan mesum artis-artis kita yang marak beredar di internet.

Ada perubahan karakter masayrakat dalam menyingkapi hal mesum ini. Jika era 80 sampai 90-an masyarakat hanya bisa menikmati hal mesum ini di bioskop dengan sejumlah ongkos tertentu, kini cukup dengan koneksi internet yang murah bahkan gratis jika menggunakan jaringan di kantor, berbagai tayangan mesum itu bisa didapat dan dinikmati. Lebih tragis lagi lembaga peradilan pun turut memberikan contoh kurang layak ketika Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Antasari dengan gamblang bercerita tentang kemesuman Antasari menggerayangi Rani Juliani. Lagi-lagi masyarakat bisa mengakses dengan gratis tontonan yang menghadirkan imajinasi tabu ini hanya dengan duduk di depan televisi. Mudahnya akses terhadap hal mesum ini berdampak bertambah luasnya rentang publik dalam mendapatkannya.

Ketika orang kesulitan mencari tontonan cabul, meminjam istilah E, Savas barang ini masuk kategori private goods karena tidak semua orang bisa menikmati dan sifatnya yang infeasable. Private Goods mengharuskan seseorang untuk mengeluarkan pengorbanan tertentu untuk mendapatkannya. Sementara saat pemberitaan Miyabi dengan latar belakang karir film porno beserta videonya dapat diakses gratis di berbagai media, hal cabul ini berubah julukan menjadi public goods. Meskipun teori Savas mennyertakan publik good sebagai ranah pemerintah/negara untuk menyediakan, namun kasus Miyabi yang sampai merepotkan petinggi kebudayaan dan pariwisata meneguhkan bahwa negara sudah terlibat dalam urusan ini. Kondisi ini diperkuat dengan lembaga negara yang mengurusi keadilan turut mencabulkan sebuah kasus pembunuhan. Tidak sepatutnya jaksa bercabul-cabul dalam dakwaannya kepada Antasari, karena lewat pemberitaan yang disebar luas, masyarakat justru akan semakin maklum dengan hal-hal cabul bahkan melegitimasi pemerintah/negara memberikan restu kepada hal-hal mesum.

Dan tentu kita tidak berharap lebih jauh dengan adanya sebuah lembaga resmi pemerintah dengan fungsi pelayanan menyuplai barang-barang cabul untuk rakyatnya hanya karena hal-hal mesum sudah menjadi barang publik dan dinanti-nanti oleh masyarakat. Yang perlu diharapkan dari pemerintah/negara adalah memberikan sebuah karakter kepada masyarakat bahwa hal-hal mesum tidak memberikan konstribusi positif bahkan merugikan. Tentu cara-cara melakukannya harusnya tidak seperti proganda-proganda orde-orde yang telah lalu. Hal mesum yang sifatnya menghibur itu, terlebih penyebarannya yang sudah sedemikian luas menuntut cara-cara cerdik dan lihai. Tentang langkah konkretnya kita pikir banyak lembaga di negeri ini yang lebih kompeten. Menangkal percabulan menjadi sangat penting bagi sebuah negara agar anak-anak generasi penerusnya tidak menghabiskan waktu bermasturbasi akibat gempuran tontonan cabul. Bahkan seruannya sejak tahun 1965 sudah berkumandang baik oleh orang bertato palu arit maupun yang berjenggot berpeci.

Derajat Miyabi dan cerita cabut jaksa penuntut umum harus dikembalikan ke derajat semula, menjadi benda yang infeasible dan dibandrol derajat ke-tabu-an yang setimpal.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 15/10/2009 | Caci Maki (0)

Tidak punya telepon rumah, riwayat diusir paksa dengan ramah

Kisah hidup perantau di Ibu Kota Negara tercinta yang juga terlaknat memang menggemaskan. Bahkan untuk urusan membikin rekening baru di bank, para calon nasabah harus dibikin keki setengah malu. Termasuk Kang Togog.

Pada satu jumat siang, Kang Togog berniat ingin punya kartu ATM baru setelah berpikir pengiriman duit lewat wesel pos selama ini, ongkosnya terasa makin mahal. Dengan sigap sesampainya di teras bank, sebut saja Bank 'Berdikari', dia memarkir motor gembelnya di sela-sela mobil yang juga diparkir disitu. Bank ini cuma kantor cabang pembantu sehingga parkirannya pun seadanya dengan dengan penjagaberkaos dan bersandal jepit. Jadi maklum jika manajemen parkirnya elegan bergaya preman.

Satpam segera membukakan pintu buat kang togog sembari menguluk salam siang. Ada dua buruh wanita yang tampak bersiaga melayani tamu yang datang. O ya! Kang Togog tak biasa dengan istilah cutomer service. Buruh di meja dekat pintu masuk tampak lebih menarik, tapi sayang menampik kang togog yang kemudian mengalihkannya ke rekan sebelahnya. Kang Togog memang lusuh, jadi tampaknya wajar jika harus diperlakukan begitu.

Dengan semangatnya, wanita kedua didepan kang togog mengajak jabat tangan.
 
'Saya Henda, bisa dibantu, Bapak?'
'Saya mau mbuka rekening, Mbak Renda.'

'Bisa minta KTPnya, sama nomor telepon rumahnya'.
'Waduh, kalo nomor telepon punya, tapi kalo rumah di jakarta enggak punya.' Mbak didepan kang togog cuma senyum mencibir.

'Nomor telepon tempat tinggal sekarang?'
'Saya ngekos, mbak'

'Bapak punya saudara?'
'Sebentar, mbak. saya sms saudara yang punya telepon rumah'

Sangkaan Kang Togog rupanya keliru. Pikirnya, dengan hanya bermodalkan KTP Jakarta yang dibelinya seharga 125 ribu rupiah bisa bikin rekening baru di kantor pemakan riba itu. Permintaan mbak buruh tentang nomor telepon rumah, benar-benar menohok naluri kemiskinannya. Prosedur sepihak memang kejam, batinnya. Cukup lama, Kang Togog pencat-pencet hapenya pura-pura SMS.

'Sudah dapat,Pak nomornya?
'Sebentar, saya telepon saja'

Belagak tanya-jawab dengan entah siapa, Kang Togok tidak sengaja memasang tampang kecewa dan mutung. Mbak-mbak berbaju putih dengan renda-renda didepannya mulai tak sabar dan beringsut keluar dari duduknya.

'Sudah, Paak..?'

'Sebentar lagi, katanya mau di SMS nomernya.'

'Maaf, Pak. Sudah ada 2 customer menunggu di belakang bapak'

Kang Togog mulai mengendus perlakuan kasar, merasa diusir dan tidak layak berlama-lama di ruangan itu.

'Enggak ada yang nyuruh mereka nunggu.' Ketus Kang Togog.

'Kami harus melayani semua tamu, pak'. Sekilas Kang Togok melirik sejurus ke depan. Benar-benar tampang budak kapitalis yang dihadapinya.

'Mbak, suruh saja bos mbak cari tambahan pegawai baru.'
'Baiklah, Pak. Saudara bapak tadi punya rekening di Bank 'Berdikari?'
'Punya, namanya Mbilung Bin Bagong, dan dia juga ngekos'
'Hubungannya dengan bapak, Om atau sepupu?'
'Yang pasti dia sudah tidak jomblo lagi, mbak...!'

Wanita itu pura-pura tidak menggerutu sembari mengetik sesuatu di komputernya. Kemudian dengan agak cepat mengangkat telepon.
'Selamat siang, benar ini rumah bapak Mbilung?...Bukan ya bu, maaf salah sambung'. Telepon ditutup dan segera menghadapi Kang Togog seperti sedang belajar senyum.

'Maaf sekali, Bapak Togog. sebaiknya setelah ada nomor telepon rumah nanti bapak baru kembali lagi kesini'

'O begitu..ya sudah'

Dongkol Kang Togog menyeret paksa bokongnya untuk berdiri beranjak segera pergi. Baru tiga langkah, Kang Togog sekonyong konyong balik badan.

'Berapa nomor yang tadi mbak telpon?'

'Maaf, Pak. Kami tidak boleh memberitahukannya'
'owh..'

Tidak seperti ketika masuk tadi, Kang Togok keluar bank tanpa membalas senyum aneh satpam yang setia berdiri sejak setengah jam yang lalu.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 09/10/2009 | Caci Maki (1)

Sabar saat harus muncul dalam kenyataan konteks panjang perjuangannya melebihi dari definisinya yang selalu dibatasi. Pada tiap kesempatan dan keinginan di satu waktu akan menjadi sempit ketika harus mengalah pada kesabaran. Tapi memang sebuah jalan kadang mewajibkan demikian agar dia bisa lurus tak menyimpang bertahan pada jalurnya.

Dan kesabaran kadang kala juga bersempadan tipis dengan sesak yang ditahan. Namun belum jadi gang buntu jika di seberangnya ada tempat untuk berhenti mengantuk dan tidur. Ketika datang kesadaran, sempitnya kebijaksanaan akan mengutuk tuhan yang melengkapi manusia dengan hati. Segumpal darah yang menjadi sumber penyakit bagi jiwa dan membatasi jalan antara manusia dengan Kekasihnya itu.

Lebih buruk manakah kelihangan hati atau nyawa jika keduanya adalah pilihan terbaik agar bisa lepas dari kesabaran?

Satu pertanyaan usil bilang, menjadi sabar katanya bakal dicinta tuhan, tapi bukankah dia tetap mahapenyayang meski manusia selalu gusar?

Hakikat kesabaran memang menjadi meragukan pada maknanya yang selalu sakit, dan tampaknya selalu demikian karena tuhan juga mencampakkannya.

Lalu jalan manakah yang menjanjikan kelapangan saat kesabaran mulai usang?

Memutus nikmat tuhan sudah sering dikatakan terkutuk, mengambil putusan antara pilihan hidup atau mati akan menjadi jalan dengan naungan sudut pandang tuhan yang berbeda pula sebab memang keduanya masih menjadi area kuasaNya.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 25/09/2009 | Caci Maki (2)

Nyaman di Tiap Tempat Tergantung Minat

Seperampat abad hidup Kang Togog, berbulan puasa semakin tahun semakin meredup dengan semangat menyurut terkatup. Jika kecil dulu ketika di kampung siang hari dihabiskan seharian mancing di kalen (parit sawah) dan merdeka dari godaan, sekarang tampaknya ancaman kemulusan puasa semakin lebar dengan godaannya yang banyak warna. Terlebih Jakarta, tempat nyaman berlapar haus dan menindih syahwat hanya mungkin jika mengurung badan di kamar atau bersemedi di rumah-rumah tuhan yang berkubah. Bergumul dengan pernak pernik amalan di malam harinya juga selalu terburu dan ditunggu ini itu.

Tapi satu saat di bulan puasa tahun lalu, jahanamnya godaan Jakarta agak reda ketika masjid sebelah rumah memberikan warna dan suasana ketuhanan yang sudah lama seperti berhibernasi. Pendiri masjid menamai masjid itu 'Ummu Sakinah', letaknya 500 meter masuk kedalam dari pertigaan Menara Salemba.

Bukan bangunannya yang hampir mirip gereja pantekosta membikin betah jamaahnya, tapi kedigdayaan para imamnya yang bisa bersenandung seperti di para imam Mekah saat bertarawih 8 kali Fatihah. Ada dua imam utama dengan gaya bacaan yang berbeda, Ustad Ahyar yang tenor dan Ustan Parman yang bariton ketika memimpin salat. Rokaat demi rokaat menjadi sangat sadar jauh dari bayangan-bayangan kesibukan di pikiran. Mungkin terlalu subyektif, tapi salat adalah hubungan privat hamba-tuhan meskipun dilakukan beramai-ramai.

Lain tempat lain pula kesan nikmat. Setelah pindah tempat tinggal, pindah pula masjidnya. Bulan puasa sekarang berganti suasana dengan tarawih 20 rakaat di lingkungan salah satu habib yang ada di Jakarta. Tarawih 20 rakaat sekarang memang kurang nyaman, agak gerah di dalam dan riuh anak-anak berceloteh ramai. Tidak semuanya buruk tentu saja. Suasana khas NU di kampung dulu sepertinya muncul lagi dengan bacaan imamnya yang cepat dan qunut tiap kali masuk tengah bulan. Paling tidak kesan nikmat kerinduan kampung setengah jam dapat dirasakan.

Sebenarnya bukan jenis masjid dan isinya yang harus dipersalahkan, tapi paling tidak ada peran kecil yang tidak bisa dilewatkan. Kualitas dan jumlah pdkt dengan tuhan sekarang terus terjun menurun, jarang bermesraan dengan tuhan ketika fajar, bahkan jatah rutin melalap firman tuhan mulai surut halaman per halaman. Meskipun Nyoman S. Pendit bilang ”orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci” tapi Kang Togog sudah terlanjur terdogma untuk bisa menamatkan paling tidak setahun dua kali.

Kini setelah lebaran kurang sebelas hari lagi, pencerahan ke jalan tuhan tidak juga kunjung datang. Harusnya jika merujuk para perapal Quran dan Hadis, jalan ke arah ampunan harus lebih dipacu agar tenggat sebulan berpuasa bisa berakhir sempurna. Namun, dengan kondisi kekalahan yang ada, kalah pada hidup dan kalah pada kondisi. Yang tertinggal cuma pertaruhan dan dalam pengertian Deleuze, Kang Togog adalah ”pemain dadu yang buruk”. Masuk gelanggang dengan mengusung teori kemungkinan. Bermimpi sehabis Ramadhan Kang Togog menjadi lebih bertuhan meski tak banyak amalan.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 09/09/2009 | Caci Maki (3)

aku sia-sia di awal tengah bulan
tidak berkurang buta berjalan lamban

aku tegak hina di pintu tuhan
limbung payah merawat iman

aku berselingkuh dari ramadhan
membusuk seperti tinja di peturasan
Category: Sajak Njeplak | Diserat: 04/09/2009 | Caci Maki (0)

Seorang karib dari pulau jauh berkeluh,

"Sholatku malam, sholatku malang
karpet lusuh, Al Fatihah separuh
dan salam yang tidak pernah penuh..."

Dan dia sanksi surga mana yang bakal direngkuh
Sementara keadilan Tuhan sendiri masih utuh
Atas kehendak-Nya surga pun bisa dikorting separuh
Atau mungkin dibikin sedikit miring seperti mau rubuh

Rendra si Burung Merak pun bilang
"seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika"

Hitung menghitung bak mitra dagang tawar menawar
Tentang surga yang dihitung dengan aljabar
Category: Sajak Njeplak | Diserat: 28/08/2009 | Caci Maki (1)

Damaiku adalah sebelah-menyebelahnya Islam, Nasrani duduk bersila diselingi pewaris Kejawen yang tenang di riuh Zikir Manakib bergema.

Rumahku tidak besar dan lengang tak berperabot macam rupa. Ruang tamunya cuma ada kursi lemari yang bila digeser kepinggir, 20 orang dapat duduk mengitar di lantai. Menjadi masuk akal jika ritual mingguan Yasinan, Tahlilan bahkan selametan tak membikin pusing jika harus digelar di situ.

Dan seperti di satu malam, tepat sehari setelah Ritz-Carlton dan JW Marriot menjadi teras berita di media-media, puluhan tetangga duduk bersila dan bercengkrama dalam sebuah selametan. Sebuah kerumunan lengkap dengan kepulan asap tembakau, pekat sesak bau menyan, dan kostum-kostum khas ndeso.

Di antara banyak yang berpeci dan bersarung layaknya pengikut NU yang taat, tak sedikit yang berbaju berbeda. Meski pakaian bukan simbol keyakinan, aku sudah hafal mana yang mbah-mbah sebelah rumah perapal primbon kejawen, mana tetanggaku yang Nasrani, dan mana-mana pula tetanggaku yang tidak jelas Tuhannya. Mereka datang sebagai saudara untuk mendoakan Bapak yang baru saja pulang sehabis disayat-sayat oleh dokter bedah.

Sudah menjadi adat bahwa ritual bukan halangan untuk tetap rukun dengan tetangga sekitar. Tetangga Nasraniku pun tak protes dan ngedumel di belakang karena diundang untuk mendengarkan Manakib Syekh Abdul Qodir Jaelani dibacakan.

Pak kyai yang ditunggu pun akhirnya muncul buat mengomando selametan. Dia adalah guru waktu aku kecil belajar membaca Arab gundul dan fasih bertutur bahasa negeri onta meski belum pernah kesana. Aku menyebutnya Pak Zen, panggilan takzim dari Zaini. Walau cuma tiap lebaran ketemu dan aku sudah lupa hibah ilmunya, dia tetap sumringah bertanya tentang kabar bekas muridnya. Setelah dipersilahkan memulai, Pak Zen pun uluk salam dan memberikan ujaran tentang maksud selametan.

Inti hajatan diisi dengan bacaanTahlil disambung zikir manakib warisan sufi dari Jailan. Sebuah zikir yang ditulis secara turun-temurun oleh para pengikut tarekat Qodiriyah. Sempat terdengar Pak Zen mengingatkan untuk khusyuk dan tenang. Zikir ini katanya adalah suci, bagi yang memegang kitabnya disyaratkan berwudhu terlebih dahulu.

Bagi tetangga berpeci tentu tak menjadi masalah mengikuti kidung-kidung arab yang dipapah Pak Zen. Sebaliknya, bagi mbah-mbah kejawen dan gembala-gembala Yesus tetanggaku, pastinya kelu jika harus memaksa ikut bersuara. Tapi semangat toleransi dan kerukunan bertetangga dari penjuru kampungku itu ternyata mampu menutup celah untuk menggerutu. Sebuah kearifan lokal dari penduduk yang tak pernah berkenalan dengan Rene Guenon, apalagi Frithjof Schuon yang mumpuni berfilosofi perbedaan agama.

Dua jam selametan berjalan, damai sebelum dan sesudahnya tak sedikitpun berubah. Tetangga-tetangga tetap berpamitan dengan senyum meninggalkan doa buat Bapak. Doa dari beragam keyakinan, ikhlas terbebas dari peng-kotakan Tuhan.

Category: Waton Njeplak | Diserat: 23/08/2009 | Caci Maki (1)

Rinduku rindu pembebasan
Ketika bala setan segelar sepapan
Bertombak nafsu defile berjalan
Berderak menyerbu segala jurusan

Rinduku rindu Perang Badar
Mengumbar lapar dari burung nazar
Mematuk bangkai bernyawa sementara sadar
Latah pada bulan tak lama benar

Rinduku rindu palsu bertopeng Tuhan
Bulur syahwat menjadi mala kiasan
Rutinitas pada 30 hari yang konon penuh rahman
Rinduku masih setia pada setan di akhir bulan

Rinduku rindu bosan
Rinduku rindu perubahan
Rinduku rindu Tuhan
Rinduku rindu pada Ramadhan

Category: Sajak Njeplak | Diserat: 18/08/2009 | Caci Maki (0)

Kang Togog otaknya benar-benar dibikin mogok pada satu petang menjelang Maghrib. Sembari memijit-mijit papan ketik di depannya, urat mukanya kosong dan tegang. Lembaran spreedsheet berisi angka-angka dengan banyak nol membujur ke bawah seperti sampai pada prostatnya. Enam digit angka dengan tanda minus di depannya membuatnya tak lekas bangkit dan terus mlongo melihat hasil perhitungan tambah kurang penghasilannya tiap bulan. Keinginannya yang banyak macam tiba-tiba menciut. Kali ini Kang Togog rontok kepongahannya. Dia tekor.

Masa membujangnya yang dibilang kawan-kawannya cukup lama jam terbangnya, memberikan kontribusi besar dalam ketidakcermatannya mengawasi kemana pundi-pundi recehnya pergi. Kang Togog yang dikamar sempitnya cuma berteman komputer, cukup ceroboh tidak menghitung-hitung hari depannya. Sebagai bujang normal suatu saat Kang Togog sadar harus berbini dan tentu saja harus memikirkan sebuah kediaman yang layak buat membikin anak kelak. Digit minus yang dihitungnya akhirnya membuatnya melek bahwa ia harus menyiapkan celengan untuk meminang seorang istri yang akan ikhlas telanjang tiap malam dan menyeduh kopi tiap pagi.

Kesadaran ganjil Kang Togog ini muncul ketika pagi harinya sebuah pesan pendek memberi kabar bahwa ia baru saja menjadi seorang om. Seorang keponakan perempuan baru lahir dan akan segera memanggilnya Om Togog, Om Gog, Om Tok , dan lain-lainnya. Tapi yang jelas, Kang Togog saat ini buntu dan merasa sangat bermasalah.

Persoalannya cuma satu, Kang Togog tak tahu dari mana celengannya harus diisi. Kran penghasilannya setelah dipotong pengeluaran rutin tiap bulan ternyata tidak bersisa, kalaupun ada itupun cuma cukup buat bayar parkir motor sehabis berlagak kaya di mall.

Kang Togog benar-benar terancam kedaulatan damai berpikirnya.

Otak belakangnya bertambah ruwet. Wujud keponakan yang dijenguknya selepas Isyak sekonyong-konyong nylonong menampar mukanya.
Pok!

"Om Togog...kapan ngasih aku kawan bermain?"

Bayi kecil itu seolah sudah rewel sebelum waktunya. Kang Togog menjadi tertegun. Tak lama benar Kang Togog membalas sang bayi dengan senyum pahit bibir hitamnya.

Dilluar kamar klinik bidan, Kang Togog kunyah asap batang kretek hanya supaya tetap sadar bahwa bayi tadi masih mungil dan mirip bapaknya.

Batin Kang Togog kemudian tertuju pada Niels Mulders ketika menyebut orang Jawa sebagai kaum seremonial. Kang Togog mulai membayangkan pasti akan ada ritual-ritual khusus yang akan digelar kawannya selaku seorang bapak baru merayakan hasil konspirasi bersama istrinya itu. Bukan bayangan suka cita yang tampak, bagi Kang Togog, seremoni-seremoni itu adalah pengali baru untuk digit minus yang masih digdaya menotoknya tadi.

Tapi tampaknya Kang Togog masih untung, tersebab masih punya banyak kawan yang lebih bijak darinya.

Di karpet merah sebuah kamar yang rudin, seorang berpostur sejahtera dengan sabar berujar kisah perjuangannya membangun sebuah keluarga. Dengan santunnya kawan itu bertutur bahwa niat baik adalah sebuah kesempatan yang tak berjalan buntu. Tuhan dikatakannya akan selalu membantu. Dalam sempitnya waktu, dengan segala penyerahan kepada sang Tuhan akhirnya masa paling tidak siap dalam siklus hidup sang kawan berhasil dilewati.

Kang Togog merasa semakin pagan namun tercerahkan.

"Lagi-lagi Tuhan jadi pelarian" sergahnya.

Tuhan memang hebat.
Category: Waton Njeplak | Diserat: 18/08/2009 | Caci Maki (0)

« 1 2 3 4 5 6 »

Bendera Bunderan HI

Tag Board

Blog buat murtad motret
,